TIDAK MUDAH MENEMPUH ILMU INI

Share posting

Artkel Eksklusif

Oleh : H Derajat

ilustrasi – google search

Bismillahirrohmanirrohim

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Berikut adalah sekelumit kisah Mursyid kami Syeikh Abdul Qadir Jaelani di dalam menuntut ilmu.

Aku buka risalah ini dengan do’a untuk kalian wahai sahabatku :

“Ya Allah, jadikanlah hari ini hari yang penuh berkah, permulaannya kesalehan, pertengahannya kemenangan, dan penghabisannya keberhasilan, ampunan dan kebebasan dari api neraka. Dan jadikanlah, Ya Allah, kelegaan bagi kami di dalamnya, wahai Allah, dari segala kesedihan, jalan keluar dari segala kesempitan, tirai penutup dari segala kekejian, kemudahan dari segala kesulitan, dan keselamatan dari segala bencana. Dan lindungilah kami, wahai Allah, dari segala keburukan dua rumah, dan palingkanlah kami dari keburukan dua tempat, ampunilah kami serta orang tua kami dan seluruh kaum Muslimin.”

Ku mulai kisah ini :

Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Dengan berat hati sang Ibu mengizinkannya. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian ilmunya. Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Abdul Qadir, dan bertanya, “Apa yang engkau punya?”

Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qadir. Bagaimana mungkin ada orang mengaku jika memiliki uang kepada perampok. Kemudian perampok itupun melapor pada pemimpinnya. Sang pemimpin perampok pun segera menghampiri Abdul Qadir. Ia menggeledah baju Abdul Qadir. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kepala perampok itu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada Abdul Qadir, “Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?” Maka Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”

Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”

Kemudian kepala perampok itu menyerahkan kembali uang itu pada Abdul Qadir dan melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolannya.

Mengembara

Pencarian ilmunya berlanjut. Kemudian berangkatlah Abdul Qadir ke Baghdad. Baghdad adalah ibukota Irak. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang paling ramai di dunia. Di Baghdad berkembang segala aktiitas manusia. Ada yang datang untuk berdagang atau bisnis, mencari pekerjaan atau menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar pada saat itu.

Saat itu tahun 488 H. Usia Abdul Qadir baru 18 tahun. Pada saat itu, khalifah atau penguasa yang memimpin Baghdad adalah Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.

Ketika Syaikh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh Nabi Khidir as. Nabi Khidir adalah seorang Nabi yang disebutkan dalam Al-Quran dan diyakini para ulama masih hidup hingga kini. Saat menemui Abdul Qadir itu, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke kota Bagdad itu.

Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.”

Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai

Tentu saja Abdul Qadir bingung mengapa ia tidak diperbolehkan masuk ke kota Baghdad selama tujuh tahun? Tetapi Abdul Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah Nabi Khidir, tentu dia harus mengikuti perntahnya tersebut. Oleh karena itu, Abdul Qadir pun kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Tentu sangat berat. Ia yang selama di rumah bisa hidup bersama orang tua dan saudara-saudaranya di rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sebuah sungai. Tidak ada yang dapat dimakannya kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa dimakan.

Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam. Ketika itu ia mendengar suara yang jelas ditujukan kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”

Keesokan harinya, iapun mengadakan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun masuk ke Baghdad. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syaikh Yusuf al Hamadani. Dari dialah Abdul Qadir mendapat ilmu tentang tasawuf. Syaikh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qadir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali.

Berguru Kepada Para Ulama Besar

Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, Kakiku ada di atas pundak para wali.”

Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, Abdul Qadir mendapatkan ilmu Tariqah. Adapun akar dari tariqahnya adalah Syari’ah. Dalam tariqahnya itu beliau mendekatkan diri pada Allah dengan doa siang malam melalui dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun shadaqah, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada Abdul Qadir. Di situlah Syaikh Abdul Qadir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.

Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan salah seorang Mursyid kami Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Semoga dengan tetap memuliakan, mengamalkan dan tetap mengingat Mursyid kami tersebut Allah memuliakan kami sebagai murid-muridnya dengan ilmu yang bermanfaat demikian juga kepada saudara-saudara kami yang membaca kisah ini Allah memberi keberkahan, mencurahkan rahmatNya dan memuliakannya. Aamin ya Robbal ‘alamin.

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *