Tak Bertepi Tapi Tetap Di Hati

Share posting

Cerpen oleh : Wishnoe Ida Noor

I ilustrasi google search-nfohpmurah.com

“Bukan salahmu, jika membiarkanku dalam kesendirian. Sunyi, dan sepi tak bertepi. Kau telah mengajarkan banyak hal padaku, dari  tak  biasa menjadi biasa. Dari merasa pintar menjadi pintar merasa, tapi satu hal yang tak bisa kulakukan padamu adalah melupakanmu, terlebih mencari penggantimu ”.

Demikian kata singkat lewat pesan seluler, dan kubaca berulangkali. Sederhana, tapi mengena. Tak banyak cakap, tapi sekali terucap memukul untaian kata dijantung hatiku.

Aku terlalu curiga menanggapi diammu dengan prasangka hati seorang wanita, bahwa kau telah menduakan hatimu. Meski itu bukan jawaban bagiku, ketika kudapatkan kesetiaanmu tanpa kata, dan aku tak memberikanmu keputusan, ketika tanya kau tanyakan atas suatu keadaan yang suliit kujewantahkan.

Layar tak pernah terkembang, terlebih ketepian. Jarak antara kita, telah kuciptakan sendiri karena aku terlalu takut kau sakiti. Padahal, tak seharusnya memang melipat jahitan sendiri, tanpa aku pahami mana yang layak aku perbiki dan mana yang tak sepatutnya kupertanyakan.

Aku tahu, bahwa seribu sembilu rasa sakitmu kau bungkam dengan diammu sehingga aku serba sult menebak sisi kebenaran antara tak berpengakuan dengan pengharapan. Beda tipis, sama-sama bikin hati teruris.

“Jika ada yang lebih dari aku, apakah kamu akan berpaling Trian?”, tanyaku suatu ketika diantara deburan ombak Pangandaran sementara dirimu hanya menatapku lekat diantara senyum kecilmu dan membiarkan anak rambutku menutupi wajah terhembus angin.

“Kamu bukan masa laluku, Indriani dan aku bukan masa depanmu”, jawabmu sakarep’e dewek dan itu sangat dalam maknanya bagiku. Tapi aku sadar, bahwa apa yang dikatakan oleh Trian, benar adanya. Baginya, aku cinta pertama dan terakhirnya, sedangkan untuk hidup bersamanya aku tak pernah punya keberanian untuk menentukan pilihan.

“Maafkan aku, sayang…”, gumamku dalam hati dan tak melanjutkan kata. Kubiarkan tangan ini dalam genggamannya, berjalan beriringan di tepi pantai menikmati deburan ombak yang saling bersusulan, berkejaran menghantam karang sampai pecah suaranya bergemuruh seperti halnya hatiku.

“Aku akan tetap untukmu, meski tidak denganmu Driani. Biarkan saja lakon ini mengikuti alurnya sampai bermuara pada ending yang kita sendiri tak akan tahu akan bagaimana, karena kita tak mampu menentukan sikap untuk bersama atau tidak. Terlalu berat bagimu memilihku, dan itu tak usah dipaksakan sebab cinta tak seharusnya dibangun atas keegoisan hati hanya karena kita terlalu cinta ataupun sebaliknya. Aku bukan sutradara yang handal, begitupun dirimu bukan pemain piawai menyikapi dua pilihan hidup”, tandas Trian dengan nada suara datar diantara helaan nafas pendeknya.

“Indriani, sudahlah jangan kau tangisi keputusanmu karena semua itu sudah Tuhan tentukan jalan hidupmu. Biarkan rasa cintamu nan suci tertanam lekat dihatimu jika kau menghendaki untuk tetap diam di dalamnya menghiasasi hatimu, meski kalian tak pernah bisa bersama”, sergah Retno sahabat yang sudah aku anggap saudara sendiri.

Pada Retno aku mampu mengungkapkan segala perasaan yang menghimpit hatiku, dan Retno yang tahu bagaimana kerapuhanku ketika Romo sudah menentukan calon suami pilihannya. Lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, dan menurut Romo bahwa Mas Dinata adalah lelaki ningrat dengan segala kemewahannya akan mampu membuatku bahagia.

“Driani, Dinata itu jelas bibit, bobot, dan  bebetnya. Romo sangat mengenal dekat keluarga kang Mas Panji. Mereka bukan keluarga biasa, tapi luar biasa. Semua putra putrinya kang Mas Panji adalah keluarga yang berhasil meraih kehidupannya dengan gemilang. Sudah keturunan ningrat, sugih, pinter bertitel, apa lagi?”, tanya Romo menjejali otakku dengan sugestinya.

Hmmm….

Jika ingat akan peristiwa itu, aku menelan bulat-bulat kerapuhan hatiku sendiri. Berpisah dengan Trian aku tak bisa, tapi Dinata juga sudah di depan mata yang siap membawaku pada dunianya sekalaigus menjadi  nyonya rumahnya.

Untukmu Trian,

Nama itu akan selalu ada dalam hatiku. Tak tergantikan, meski ragaku utuh dimiliki Dinata, tapi hati seorang wanita yang benar-benar merasa bahagia menikmati cinta dan menjalaninya, adalah denganmu. Setidaknya, aku pernah mengisi hari-harimu. Menemani masa-masa indah, dan dirimu menjadikanku permaisuri hatimu, meski aku tak bisa seperti setiamu padaku.

Ketahuilah,

Hati wanita akan mampu menyimpan berbagai hal di kehidupannya, termasuk namamu dan adamu. Jangan kau percaya senyumku ketika bergandeng mesra dengan Dinata, itu kasat mata. Aku memberikannya, karena Inggit puteri semata wayangku buah dari perkawinan kami, adalah darah dagingku yang tak seharusnya mengetahui terlebih memahami, bahwa hati ibunya adalah milikmu.

Jangan kau tanyakan kenapa dan bagaimana, sampai akhirnya akupun mempunyai keturunan meski tak pernah cinta. Tapi, aku terikat dengan sumpah janjiku di hadapan Ilahi ketika kami mengucap janji yang terikat aturan sebagai suami istri dan aku sah menjadi miliknya, walau pada kenyataannya aku seperti boneka saja bagi Dinata karena kesibukannya memimpin perusahaan.

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *