Aku Bersedia Menjadi Murid Siapapun Yang Berbakti Dan Hormat Kepada Ibunya

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

Ilustrasi-bersamadakwah.ne

Bismillahirrohmanirrohim

Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

Sahabatku terkasih, sungguh di lubuk hatiku terdalam aku sangat takut dan sekaligus sering berharap dari doa murid-muridku, ataupun sahabat-sahabatku yang hubungannya begitu dekat dengan ibunya. Karena salah satu jalan terkabulnya doa adalah doa seorang ibu untuk anak-anaknya, demikian juga jalan terdekat menjadi Wali Allah adalah mencintai ibunya sebagaimana dicontohkan Cinta Nabi Isa as kepada ibunya, maupun kisah mursyid kami berikut yang akan saya kisahkan kepada kalian wahai sahabat….

“Dari Abu Hurairah, dia berkata, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasul pun menjawab: ‘Ibumu’. ‘Lalu siapa lagi?’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi’, ‘Ibumu’. ‘Siapa lagi’, ‘Ayahmu’.”

Demikian agungnya seorang ibu sehingga Rasulullah mengamanahkan agar kita berbakti kepada ibu hingga beliau menyebutkannya tiga kali. Syeikh Abu Yazid al-Busthami adalah Mursyid kami di Pasulukan Loka Gandasasmita.

Marilah kita renungkan kisah berikut ini :

Kakek Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah seorang di antara orang-orang terkemuka Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia berada di dalam kandungan ibunya.

“Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata kepada Abu Yazid, “Engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”.

Pernyataan si ibu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.

Ketika waktunya telah tiba, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari al-Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surah Lukman yang berbunyi: “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu”. Ayat ini sangat menggentarkan hati Abu Yazid. Abu Yazid meletakkan batu-tulisnya dan berkata kepada gurunya: “Izinkanlah aku pulang, ada sesuatu yang hendak kukatakan kepada ibuku”.

Si guru memberi izin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata:

”Thaifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah suatu kejadian yang istimewa?”

“Tidak”, jawab Abu Yazid. “Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua buah rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata”.

”Anakku”, jawab ibunya. ”Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau dan jadilah seorang hamba Allah”.

Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling sepele di antara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Aku pernah mengalami sebuah kejadian :

“Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun pergi mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Oleh karena itu pergilah aku ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur”.

“Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku.”

“Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?”, ibu bertanya.

’Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena’, jawabku.

Pernah ibu berkata kepadaku: “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka“.

“Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”.

Sedemikian itulah pengabdian Guru Mursyid kami kepada ibunya, seperti telah dimaklumi dalam ilmu tarekat bahwa akhlak mendahului ilmu. Sehingga saya ( H Derajat ) bersedia mengakui siapapun yang mengabdi dengan sungguh-sungguh kepada ibunya sebagai Guru.

Setelah sang ibu memasrahkan anaknya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus-menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan.

Semoga Allah merahmati dan memberkahi mu wahai sahabatku….wassalam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *