Aksi Patriotisme Pemilih dalam Pemilu

Share posting

Artikel Eksklusif

 

Oleh: Nuni Nurbayani, M.Pd.I.

Nuni Nurbayani, M.Pd.I., adalah komisioner KPU Garut (foto istimewa-grahabignews.com)

Memberikan suara dalam pemilu adalah bentuk partisipasi politik yang paling minimal dapat dilakukan warga negara. Dalam kerangka konsep negara yang menganut system demokrasi, partisipasi politik merupakan bentuk legitimasi masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Legitimasi ini menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Seberapa ‘kuat’ pemimpin terpilih ditunjukkan dengan prosentase partisipasi yang tinggi. Kekuatan apakah yang menjadi modal/magnet calon pemimpin tersebut sehingga terpilih. Apakah modal sosial, ekonomi atau popularitas. Diluar hal itu, bagi pemimpin yang terpilih dengan angka pemilih yang tinggi tidak hanya mengantarkannya ke tampuk kekuasaan, namun dukungan masyarakat adalah gengsi bagi seorang pemimpin. Yang dapat menambah imunitas, kepercayaan diri dalam menjalankan roda pemerintahan.

Partisipasi pemilih yang tinggi, seharusnya menunjukkan bahwa pemimpin yang terpilih memunuhi standar kualifikasi yang diharapkan oleh masyarakat. Yaitu, pemimpin tersebut memiliki kecakapan dalam memimpin, mampu mengeluarkan kebijakan yang berkualitas dan keputusan yang baik terutama disaat yang genting. Namun, lemahnya perangkat sensor dalam penjaringan kandidat pemimpin ditingkat partai politik berimplikasi pada lemahnya kualitas calon pemimpin nasional maupun di legislatif. Partai politik cenderung merekrut kontestan jadi terutama yang memiliki modal sosial dan ekonomi yang tinggi seperti selebritis. Bukan membina kader partai secara berjenjang yang secara ideologis mewakili cita-cita, visi misi partai. Membina hingga siap dan memiliki elektabilitas yang tinggi.

Bukan tanpa sebab, membina kader partai hingga ‘jadi’ membutuhkan waktu yang panjang dan modal yang tidak sedikit. Padahal dalam waktu singkat partai membutuhkan figur yang diakui oleh pemilih. Berbagai carapun dilakukan untuk meraih suara yang banyak. Diantaranya merekrut calon pejabat yang popular dan memiliki modal ekonomi yang besar, ujung-ujungnya menggunakan modal tersebut untuk melakukan vote buying (pembelian suara).

Sebagai pemilik suara, pemilih/masyarakat memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pilihannya kepada calon pejabat publik yang dikehendakinya. Namun, mayoritas pemberi suara celakanya tidak keberatan untuk memperjualbelikan suaranya dengan nominal yang minim. Pada akhirnya terpilihlah pemimpin/wakil rakyat yang korup, tidak kompeten, tidak peduli pada nasib rakyat. Kemudian pada pemilu selanjutnya terjadi wabah political distrust. Masyarakat tidak percaya pada pejabat publik yang akan dipilihnya. Hal inilah yang kemudian bisa memicu sosial unrest (kerusuhan sosial), seperti berbagai kekerasan dalam demo mahasiswa. Dan bencana paling besar adalah meningkatnya angka golput (golongan putih) yang menunjukkan kemunduran dalam berdemokrasi suatu bangsa.

Pemilih Sebagai Pemilik hak Paten Suara

Hak memilih (right to vote) sejatinya merupakan hak fundamental warga negara yang dilindungi oleh undang-undang. Dimana undang-undang membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bebas memilih calon pejabat publik sesuai dengan hati nuraninya. Gagasan dan praktik kebebasan (liberty) inilah merupakan tonggak pemilu yang sebenarnya. Pemilih memiliki kebebasan prosedural dalam mengikuti seluruh proses pemilu. Pemilih sesuai haknya dapat terlibat dalam pendaftaran pemilih, pendidikan pemilih, kampanye, perhitungan dan tabulasi, dan mengetahui hasil akhir pemilu. Dengan kata lain, pemilih memiliki jaminan kemerdekaan untuk terlibat dalam setiap tahapan pemilu.

Secara substantif pemilih sebagai pemilik suara memiliki kebebasan berkaitan dengan jaminan perlindungan hak preogratif warga dalam menyalurkan dan mengekspresikan hak politiknya dalam pemilu. Wujudnya berupa independensi memilih dengan sadar tanpa hambatan dan diskriminasi, keleluasaan memilih kandidat dan parpol tanpa intimidasi. Lebih dari itu, bentuk-bentuk jaminan kebebasan substantif lainnya, yaitu saat pemilih terbebas dari ancaman aparat dan kelompok masyarakat saat memilih, terbebas dari mobilisasi kepala pemerintahan atau komunitas, bebas dari kampanye hitam dan berita bohong tentang calon dan parpol, dan bebas dari ancaman eksesif politik identitas.

Dari sisi instrumen hukum, jaminan dan perlindungan hak pilih warga negara  tercermin dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3). Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang sama. Dalam implementasinya hak dan kewajiban pun harus beriringan. Kedudukan hak memilih sebagai bagian dari hak konstitusional semakin dipertegas dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian konstitusionalitas penggunaan kartu identitas bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap. Putusan tersebut menegaskan bahwa “hak-hak warga negara  untuk memilih sebagaimana diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen).

Jaminan pelindungan terhadap Hak memilih warga negara selanjutnya diatur secara lebih rinci dan rigid dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 yang berbunyi: Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1), dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kedua ketentuan pasal di atas jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya.

Mengingat hak memilih tersebut dilaksanakan dalam pemilu, maka penjabaran lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaannya untuk pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu. Dimana didalamnya terdapat pula Azaz Pemilu yaitu Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil.

Aksi Nyata Patriotisme Pemilih

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriotisme adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Semangat cinta tahan air. Selanjutnya dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), patriotisme merupakan perasaan keterikatan dan komitmen terhadap suatu negara, bangsa, dan komunitas. Patriotisme (cinta tanah air) dan nasionalisme (kesetiaan kepada satu negara) sering dianggap sinonim. Patriotisme berasal dari kata “patriot” dan “isme” yang berarti sifat kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau “heroism” dan “patriotism” dalam bahasa Inggris. Pengorbanan dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga.

Penanda hadirnya patriotisme dalam jiwa masyarakat Indonesia dalam pemilihan yaitu dengan hadirnya pemilih di TPS untuk memilih. Tentunya pemilih yang pada saat memilih tidak sembarang memilih, memilih tanpa ada unsur paksaan atau karena politik uang. Tapi memilih berdasarkan kalkulasi, kesesuaian, dan pertimbangan strategis. Bahwa apa yang dipilihnya menentukan nasib bangsa selanjutnya. Apakah akan terwujud bonum commune (kesejahteraan bersama)? Selain itu, mereka tidak hanya memilih tetapi turut berpartisipasi mengawasi jalannya pemilihan.

Pemilih secara rasional dengan kesadaranya dapat secara aktif menggali informasi mengenai calon yang akan dipilihnya. Bisa melalui internet/media sosial, dari kampanye calon atau informasi lainnya. Pemilih juga dapat berpartisipasi dalam seluruh tahapan pemilu bisa sebagai penyelenggara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau menjadi pengawas sukarela. Mengawasi akurasi hasil pemilu.

Memilih dalam Pemilihan dapat disebut sebagai salah satu wujud patriotisme. Karena dalam memilih terdapat banyak tantangan. Pertama, keterbatasan informasi mengenai calon menjadikan rasionalisasi mengenai calon tidak sempurna. Sadar atau tidak sadar pemilih menghadapi situasi terbatas untuk mendapat informasi yang cukup tentang kandidat karena waktu atau biaya yang harus dikeluarkan. Kemudian sangat memungkinkan jika pemilih mengambil jalan pintas dalam memutuskan pilihan, tanpa dukungan informasi yang cukup.

Kedua, Ketidakpercayaan kepada kandidat yang akan dipilih, membuat pemilih merasa bahwa kehadirannya di TPS akan menjadi sebuah kesia-siaan. Karena siapapun yang akan menjadi pemimpin bagi mereka, tidak akan membawa perubahan. Celakanya lagi para calon pemilih yang tidak percaya ini, mengkampanyekan golput kepada masyaakat lainnya.

Ketiga, Kampanye golput tersebut di atas tidak hanya bisa dilakukan oleh individu. Di Solo misalnya, seperti di lansir dari detiknews.com, September 2020. Diberitakan bawa partai politik berlambang padi dan dua bulan sabit berwarna kuning, mempertimbangkan untuk abstain di Pilkada Solo 2020. Konsekuensinya, kader dan simpatisannya akan di dorong untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Pemilih ini, mengikuti arah pilihan kelompok (group-oriented voting). Individu mengikuti orientasi pilihan kelompok karena logika menjaga harmoni komunitas dan manfaat materi yang diterima kelompok (patronage).

Keempat, Enggannya para pemilih urban mengurus surat pindah memilih untuk melakukan pemungutan suara di TPS lain yang berbeda dengan alamat di KTP. Pemilih cenderung pasif menunggu petugas.

Kelima, malas datang ke TPS karena merasa tidak penting. Lebih memilih melakukan kegiatan yang menurut mereka sangat penting. Misalnya berdagang, bermain dengan teman, tidur. Mereka tidak peduli terhadap politik. Mereka masuk ke dalam kategori pemilih yang apatis. Tidak simpati, tidak antusias, cuek pada urusan politik atau pemilu.

Dari berbagai tantangan tersebut, banyak pemilih yang mengorbankan egonya untuk turut hadir dalam pesta demokrasi sebagai wujud kecintaannya terhadap tanah air. Mereka percaya kehadiran mereka di TPS akan dapat mengubah nasib bangsa. Jika para pahlawan pada 10 November 1945 mengobarkan perang melawan penjajah yang mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato. Merobek warna biru hingga tinggal Merah Putih yang berkibar. Di masa ini kita berjuang melawan apatisme, ego sektarian, politik identitas, hoaks dan lain sebagainya.

Penulis adalah komisioner KPU Garut

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *