Nasehat Pendek Tentang Kewalian

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

Ilustrasi-madaninews.id

Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut tentang wali, yakni pada QS. Yunus ayat 62-63, yakni:

أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ, ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ يَتَّقُونَ

Alā inna auliyā`allāhi lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanụn. Allażīna āmanụ wa kānụ yattaqụn.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”.

Kalau diterjemahkan makna dari ayat Al Quran tadi maka dalam ajaran Kewalian Jawa dikatakan bahwa seorang Wali Allah adalah orang yang sudah mencapai keadaan Suwung yang dia pandang kemanapun hanya Allah yang nampak.

“Sejatine Kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi. Bali alaming  nga-SUWUNG, Tan karem karameyan. Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira Mulane wong anom sami.”

Artinya:

Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugerah Tuhan. Kembali ke alam kosong, Tidak mabuk keduniawian yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula. Demikianlah yang terjadi wahai anak muda

“Intinya, suwung itu adalah kondisi pribadi yang telah memiliki kesadaran penuh akan hilangnya ke-aku-an diri. Artinya, ia merasa telah sirna lantaran sudah memahami bahwa dirinya itu memanglah tiada. Tiada dalam wujud materi, juga dalam wujud non materi. Ia pun telah bisa meraih ketransendenan yang sesungguhnya dengan tidak lagi merasa transenden.

Pun dapat dimaknai sebagai perwujudan dari dualisme yang berubah menjadi ke bentuk tunggal (kemanunggalan). Artinya, tak ada lagi aku dan kamu, dia dan saya, serta ada dan tiada. Karena semuanya telah melebur dalam kesejatian YANG ESA.”

Makanya tak mengherankan jika kondisi suwung ini oleh kalangan sufisme Jawa dianggap sebagai tahapan yang tertinggi, yaitu makrifat. Dan orang yang berhasil mencapainya lalu disebut sebagai sosok yang Kaweruh atau Waskita. Di sinilah pada akhirnya akan memunculkan kebijaksanaan yang sejati, yang bersifat universal pada diri seseorang.

Lantas mengapa suwung ini menjadi tahapan yang tertinggi? Jawabannya terkait dengan falsafah leluhur kita yang berbunyi: “Pengeran iku biso ngawohi kahanan opo wae tan keno kinoyo ngopo” atau yang berarti bahwa Tuhan itu bisa mengubah/menciptakan segalanya tanpa mungkin dapat diperkirakan lagi. Jadi DIA itu adalah yang “Tan keno kinoyo ngopo” atau yang berarti tak bisa lagi dijangkau dan diperkirakan oleh siapa pun. Sebab Diri-Nya memang di luar batas akal pikiran dan imajinasi. Tak ada yang dapat memahami kesejatian-Nya kecuali sedikit, dan itu pun hanya atas izin dan kehendak-Nya pula.

Makanya bisa disimpulkan bahwa bagi seorang makhluk, Tuhan itu bisa dicapai (dipahami) hanya dengan mendekati sifat-sifat-Nya.

Nah, di antara sifat-Nya itu adalah “Tan keno kinoyo ngopo“, yang akhirnya berujung pada ke-suwung-an diri seseorang.

Artinya, untuk dapat mengenali Tuhan yang sejati, maka siapa pun itu harus terlebih dulu bisa mencapai keadaan suwung (kekosongan/hilangnya ke-aku-an diri).

Dan suwung yang dimaksudkan di sini tentunya harus bisa terlepas dari segala keterikatan materi dan keduniawian, bahkan akal dan pikiran. Tidak berarti harus meninggalkan keduanya (materi dan keduniawian, akal dan pikiran) itu, tetapi lebih kepada memahami secara mendalam tentang letak dan hakikat dari keduanya (materi dan keduniawian, akal dan pikiran) itu secara tepat.

Ditambah lagi dengan memahami apa makna dari falsafah leluhur kita yang berbunyi: “Sangkan Paraning Dumadi“, atau yang berarti pengetahuan tentang “dari mana manusia berasal dan kemanakah ia akan kembali”. Dan dalam hal ini tidak terlepas dari hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Artinya, falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” itu sendiri bermaksud mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini ia pun harus memiliki nilai-nilai luhur ke-Tuhan-an. Dan di antara nilai-nilai luhur ke-Tuhan-an itu adalah bersikap jujur, adil, tanggungjawab, setia, tulus-ikhlas, tepo saliro (tenggang rasa), peduli, sederhana, rendah hati, ramah, penuh cinta, disiplin dan berkomitmen.

Dengan memiliki sifat ke-Tuhan-an itulah seseorang akan bisa kembali kepada-Nya dalam keadaan selamat dan diridhai. Makanya dalam falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” ini tersirat makna yang sangat mendalam bahwa kita sebagai makhluk pada hakikatnya akan berpulang ke “rumah sejati” kita.

Inilah rumah kita yang sejati tempat kita kembali dengan pasti :

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

“Sesungguhnya kami itu milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah SWT.”

Sahabatku bahwa sesungguhnya apapun yang terjadi pada diri kita baik yang berupa kekayaan, kebahagiaan maupun penderitaan sesungguhnya hanya penguji diri kita saja, dan kita akan kembali kepada keadaan Suwung yang penuh mukjizat itulah Allah SWT sebagaimana Al Quran mengingatkan kita :

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.” (QS. Al Baqarah: 155-156)

Semoga Allah merahmati, memberkahi dan menyelamatkan diri kita. Aamiin.

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *