Mengapa Nabi Musa Bisa Mendengar Langsung Kalam Ilahi?

Share posting

Senin (12/09/2022), pembaca budiman GrahaBigNews dengan artikel ini berharap bisa meningkatkan keimanan kita pada Alloh SWT, dan bermanfaat…

mematahkan kesombongan orang yang masih suka pamer ibadah dan merasa orang terbaik dalam ibadahnya sementara yang lain adalah orang-orang fasik

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat


Ilustrasi-republika.co.id

Teringat akan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Jabir bin Sulaim,

وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ

“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam Kitab al-Hikam nomor hikmat ke-79, berkata:

Jarang sekali karunia besar turun dari Allah, kecuali secara mendadak (tiba-tiba), supaya tidak ada orang yang mengaku bahwa dia mendapatkannya karena telah mengadakan persiapan untuk menerima karunia itu.

Allah mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Tahukah engkau mengapa Aku mengangkatmu sebagai Nabi yang langsung mendengar kalam-Ku?”

Jawab Musa, “Engkau yang lebih mengetahui.”

Bersabda Tuhan, “Ketika Aku larikan semua kambing Nabi Syuaib yang engkau pelihara itu, sehingga dengan susah payah engkau mengejar kambing-kambing itu untuk mengembalikannya, tetapi kemudian setelah semuanya kembali engkau tidak merasa jengkel/marah, maka itulah sebabnya.”

Dalam hadis disebutkan, seorang pelacur memberi minum kepada anjing, tiba-tiba Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni semua dosanya.

Demikianlah kehormatan dan karunia-karunia besar dari Allah itu, tidak dapat diraba oleh manusia, dan selalu diberikan oleh Allah secara tiba-tiba, supaya tidak ada orang yang berbangga dengan amal perbuatannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang menolong saudaranya dalam kebutuhannya, maka Allah pun akan menolongnya dalam kebutuhannya” (HR. Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580, dari Ibnu ‘Umar).

Ku tutup dengan do’a :

“Allaahumma yaa ghaniyyu yaa hamid, yaa mubdi’u wa yu’îd, yaa rahiimu yaa waduud. Aghninii bi halaalika ‘an haraamik, wa thaa’atika ‘an ma’shiyatik, wa bi fadhlika ‘an man siwaak.”

“Ya Allah, Yang Maha Kaya, Maha Terpuji, Maha Pencipta, Maha Kuasa Mengembalikan, Maha Penyayang, dan Maha Kasih. Cukupi aku dengan harta halal-Mu, bukan dengan yang haram. Isilah hari-hariku dengan taat kepada-Mu, bukan mendurhakai-Mu. Cukupi diriku dengan karunia-Mu, bukan selain-Mu.”

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *