Amal Ibadah Yang Tak Pernah Dimengerti Manusia Bahkan Malaikat Sekalipun

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

dakwatuna.com

Sahabatku terkasih, kadang hati kita berpandangan miring terhadap amal ibadah orang lain dan menjadikan diri kita sombong. Mungkin kisah ini bisa menyadarkan diri kita, bahwa sesungguhnya amal ibadah kita tidaklah sebaik amal ibadah orang yang kita rendahkan itu.

Berikut pengalaman dari kisah nyata Mursyid kami terdahulu :

Dzun Nun al-Misri, seorang Sufi kelahiran pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M, memiliki kisah saat melaksanakan ibadah haji.

Dzun Nun bertemu dengan seorang pemuda telanjang. Pemuda itu seperti ‘gelandangan’ dalam kondisi sakit. Tubuhnya tanpa sehelai pakaian tergeletak di bawah salah satu tiang Masjidil Haram.

Pemuda itu menyuarakan rintihan hati yang sangat pilu sambil menahan sakit yang diderita.

Dzun Nun sang pencetus paham makrifatullah, menghampirinya dan memberi salam ke si pemuda. ”Siapa engkau hai anak muda?”.

Pemuda malang itu menjawab, “aku adalah pengembara yang sedang rindu,”. Dzun Nun pun menjawab, “aku adalah orang sepertimu,”.

Di luar dugaan, si pemuda itu menangis. Dzun Nun juga ikut larut menangis melihat isak tangis pemuda itu.

Si pemuda balik bertanya kepada Dzun Nun. “Kenapa engkau menangis?,” Dzun Nun menjawab, “aku adalah orang sepertimu,”.

Tanpa disangka si pemuda itu menangis menjerit dengan suara paling keras dan berteriak melengking. Dalam jeritan memuncah, Dzun Nun melihat si pemuda itu menghembuskan nafas terakhir.

Kematian pemuda telanjang itu membuat Dzun Nun iba. Beberapa pakaian yang ia gunakan dilepas untuk menutupi tubuh si mayit.

Dzun Nun keluar masjid mencari kain kafan.

Setelah kembali dengan kain kafan, mayit si pemuda hilang.

Tersentak, Dzun Nun sadar bahwa si pemuda itu merupakan pengembara yang sulit digoda setan. Dan malaikat pun tidak bisa mencatat amal ibadahnya.

Kisah Dzun Nun ini mengingatkan dawuh Sang Kiai di Sumenep.

Sang Kiai bercerita, “ada seorang yang baru meninggal dunia. Dalam catatan malaikat, amal perbuatan si mayit banyak merahnya (jelek). Sehingga malaikat berkeinginan memasukkan ke dalam neraka. Namun Allah mencegahnya,”.

Malaikat bertanya, ”Kenapa ya Allah?,”. Allah menjawab, “Aku ngerti dalam catatanmu orang itu memang banyak merahnya. Tapi kamu tidak mengerti catatanKu”.

Sang Kiai menjelaskan dialog antara Allah dan malaikat itu karena amal ibadah pecinta yang tidak bisa diketahui malaikat karena dzikir yang samar (dzikr khafi).

Dua kisah di atas menunjukkan begitu mulyanya seorang pecinta yang dicintai Allah Swt. Sehingga, bentuk kedekatan dirinya dengan sang Tuan (Allah Swt), tidak ada yang mengetahui. Baik manusia maupun malaikat.

Al-Ghazali dalam kitab  Mukasyafatul Qulub menerangkan kemabukan si pecinta terjadi setelah melewati dzikr qalb (hati) dan dzikr ruh.

Dalam kondisi ekstase, seluruh tubuh pecinta tidak merasa apa-apa, kecuali menikmati kelezatan dzikir dalam kemesraan yang dirajut dengan sang kekasih.

Dzikir Sirri (Dzikir Khafiy/rahasia); Dzikir Sirri tidak menggunakan mulut, melainkan dzawq (perasaan) dan syu`ûr (kesadaran) yang ada di dalam qalbu. Karenanya dzikir ini menjadi tersamar (khafiy) dan hanya pelaku serta Allah Subhanahu wa ta’ala saja yang dapat mengetahuinya.

Dalam Dzikir Sirri (dzikir khafiy), orang mengingat Allah, merasakan kehadiran Allah, menyadari keberadaan Allah. Didalam qalbunya tumbuh rasa cinta, rasa rindu kepada Allah, rasa dekat, bersahabat, seakan melihat Allah. Itulah ihsân, dimana dalam ibadahmu kamu merasa melihat Allah, atau setidaknya merasa sedang dilihat oleh Allah s.w.t. Inilah dzikir yang hakiki, sebab hubungan manusia dengan Allah swt tidak terjadi dengan tubuh jasmaninya melainkan dengan qalbunya.

Maka dari itu sahabatku, tetaplah berprasangka baik kepada ibadah orang lain yang mungkin saja kualitas ibadahnya jauh di atas kita apalagi terhadap Mursyid yang jelas ada sanad silsilah yang tersambung pada manusia-manusia yang mulia sebelum dirinya. Inilah ajaran Thariqat, maka berbuatlah sekemampuan kita sesuai dengan ajaran ini.

Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.”

Wallahu ‘alam


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *