Mengumpat dalam hati adalah tercela !!!
Artikel Eksklusif
Oleh : H Derajat
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bagi seorang Wali Allah mengumpat dalam hati pun adalah sebuah kesalahan sebagaimana pernah terjadi kepada Mursyid kami yang mulia Imam Junaid Al Baghdadi, dapatlah kita bayangkan kemuliaan hati seorang Wali yang merupakan Mursyid dari Tarekat ini.
Suatu hari Imam Junaid al-Baghdadi duduk-duduk di Masjid asy-Syuniziyyah. Bersama penduduk Baghdad lainnya ia menunggu beberapa jenazah yang hendak mereka shalati. Di depan mata Imam Junaid, seseorang yang tampaknya ahli ibadah terlihat sedang meminta-minta.
“Andai saja orang ini mau bekerja hingga terhindar dari perbuatan meminta-minta tentu lebih bagus,” kata Imam Junaid dalam hati. Kondisi aneh terasa ketika Imam Junaid pulang dari masjid itu. Ia punya rutinitas shalat dan munajat sampai menangis tiap malam. Tapi, kali ini ia benar-benar sangat berat melaksanakan semua wiridnya.
Ulama yang juga biasa disapa Abul Qasim ini hanya bisa begadang sambil duduk hingga rasa kantuk menaklukannya. Dalam gelisah, Imam Junaid pun terlelap.
Tiba-tiba saja orang fakir yang ia jumpai di Masjid asy-Syuniziyyah itu hadir dalam mimpinya. Anehnya, si pengemis digotong para penduduk Baghdad lalu menaruhnya di atas meja makan yang panjang. Orang-orang berkata kepada Imam Junaid, “Makanlah daging orang fakir ini. Sungguh kau telah mengumpatnya.” Imam Junaid terperangah. Ia merasa tidak pernah mengumpat pengemis itu. Sampai akhirnya ia sadar bahwa ia pernah menggunjingnya dalam hati soal etos kerja. Dalam mimpi itu Imam Junaid didesak untuk meminta maaf atas perbuatannya tersebut.
Sejak saat itu Imam Junaid berusaha keras mencari si fakir ke semua penjuru. Berulang kali ia gagal menjumpainya, hingga suatu ketika Imam Junaid melihatnya sedang memunguti dedaunan di atas sungai untuk dimakan. Dedaunan itu adalah sisa sayuran yang jatuh saat dicuci. Segera Imam Junaid menyapanya dan tanpa disangka keluar ungkapan balasan,
“Apakah kau akan mengulanginya lagi wahai Abul Qasim?”
“Tidak.”
“Semoga Allah mengampuni diriku dan dirimu.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Junaid sendiri sebagaimana terekam dalam Raudlatur Rayâhîn karya ‘Abdul As’ad al-Yafi’i. Imam Junaid beruntung, peringatan untuk kesalahan “kecilnya” datang lewat mimpi sehingga bisa berbenah diri. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang gemar mengumpat, mengghibah dan mencela orang lain, bukan saja dalam hati, tapi juga terang-terangan lewat lisan atau tulisan ? Wallahu a’lam.
Mengapa mencela orang lain disamakan dengan memakan bangkai manusia ?
Berikut pelajaran penting yang dituntun oleh Syeikh Junaid Al Baghdadi :
Syekh Abdul Fattah Abu Guddah menuliskan doa ampunan bagi guru-guru kita dalam catatan kaki kitab Risâlah al-Mustarsyidin:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allâhumma-ghfir li masyâyikhinâ wa liman ‘allamanâ wa-rhamhum wa akrimhum biridlwânikal ‘adhîm fî maq’adish shidqi ‘indaka yâ arhamar râhiîn
Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang. (Imam al-Haris al-Muhasibi, Risâlah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 141)