Secuil Catatan Harian (Mia)
Puisi ini aku dedikasikan untuk Dr.Raden Elni Ruska Miani (yang sudah lelap dalam pangkuan surgaNYA) 1986-2021
Oleh : Denny. AR
(Gadis berambut kepang dua yang manis, trah ningrat Lurah bintang
Begitu hijau penuh gairah tunas didadamu
Berseragam putih abu,)
Ntah cinta atau sekedar trendi
pada tepian takdir kujumpai dipintu kelas IPA dua
lalu merajut hari-hari ditaman berjuta bunga penuh janji
namun pelangi senja yang mengukir mimpi terbantai situasi
hempaskan asa cinta putih
dibakar sisa feodal yang mengakar.
budaya moyangmu lahirkan luka panjang sang bujang liar.
Pun gadis ningrat nasibnya tragis
Kereta tua penuh asap yang bising
suaranya diujung selatan kota
mengehela lelah “ nafas Si Gombar”
sesalkan lepasnya kesucian mutiara
Pada hamparan indah kebun teh Giriawas
hawanya memantik bara memerah
fikiran normal terpinggirkan
Celana panjang hitam terurai di tangga neraka
adalah nisan-nisan tanpa nama bermandikan air mata tak kentara
perjalanan masa hijau nan singkat berlumur derita
Darah, darah darah berceceran tahun delapan puluh
5 oktober sembilas belas delapan dua yang dingin penuh intrik
Kau hadirkan ketidakpastian takdir pagi buta
Kedua kawan mengabarkan Darah daging kita,telah datang
menantang dunia,” Mawar Ruselia”
meniti takdir yang ntah bagaimana bentuknya
Bungah dalam kedunguanku yang sok dewasa
memeluk angkuh
pada kursi pelaminan anak sunatan bawah senja
Siap tak siap dia harus siap berangkat ke samudra luas penuh tantangan
Hitam putih jejakpun terinjak berhamburan
Di Kopo gang saidin pun sukarisi hingga Tegallega- situ aksan
subuh-subuh sopiri bemo, bahkan tronton semen Jakarta bandung
Kureguk getir kisahnya
demi kuliah dan susu sang anak.
Jalan sudirmanpun penuh penghianatan, menyakitkan
Dolar berhamburan dalam juang taklukan kehidupan
penuh semangat cinta dalam duka nestapa
sampai ahirnya dengan riuh aku saksikan
kau berselempang toga kebanggaan di podium terbuka
air matamupun meleleh sirami kekar otot jantungku
Lalu takdir berkata lain
delapan belas juli Sembilan belas delapan enam
kau ucapkan sayonara pada rendahnya nilai dunia
meninggalkan aku sendirian
saat gairah cinta kasih suci ternodai,
saat sang darah tercinta belum bisa mengeja aksara
senyum dikulumnya penuh tanya tak terungkap
lantas kulahap air api,rumput liar, roda berwarna,di jalanan semesta langkah tanpa kendali.
Amarah, amarah dan amarah melanglang jagat nafasku
terus dan terus kunaiki tebing tinggi, warnanya hitam dan hitam
beguguran juga korban lampiasan dendam,sakit hati pun frustrasi
sedang darah yang tercecer kemarin menagih hari-hari penuh celoteh
kian lucu mengangenkan
tapi realita tak mampu dekatkan trah
dia belum mengerti apa-apa mengalir tanpa beban
Sembilan belas Sembilan puluh, aku tiba disimpang jalan
Dan aku harus memilih, mengembara atau wanita
dia hadir penuh kesederhanaan,
begitu lugu, gadis gunung berpeluh
Maya ruskawati selamatkan aku dari jurang keterupurukan
Saat kusapa senyum simpul
pertanda Tuhan menggariskan pada takdir
Sekurun waktu tiga puluh tahun berlalu
merekapun terlahir tiga darahku merangkaki langit
Warnanya berbeda-beda
Asuhan kuning padi aromanya bunga setaman
Langkah selangkah salami tingginya mega temega,
Aku masih tetap diam pada malam yang legam dan panjang
Seperti Neng Mawar si cikal
ketiganya merayapi mimpi -mimpinya hingga S3
Langitku tetap mendung,
tanganku legam dibakar dendam yang kian melemah
Lelah di telan usia
Kau kian jauh….
jauh mengapak awan hatiku yang rindu, diam..!
( baru saat itulah aku sadar pada makna air mata )
Saat itu,
ya saat itu bulan juli dua ribu dua puluh Satu
Dibawah gerimis dingin Cipanas
Aku terpaatung di atas gundukan tanah memadat
Kiaranya masih seperti dulu naungi tidur abadimu dalam damai
Lalu kuantarkan doa-doa khusuk
meski nafasku penuh luka
kutatap sadakeling yang sesak nostalgia,
kulihat pula kau beridiri memakai gaun putih berenda sutra
benang emas disana
masih seperti dulu gadis ningrat
berambut kepang dua, berseragam abu putih
melemparkan senyuman manis penuh cinta pada pemuda gondrong ber ransel biru
yang giginya sudah rontok rambutnya putih tubuhnya berpenyakit
air matanya menderas basahi tanah
memandikanmu dalam diam
Cinta pertama
nurani tak pernah berhianat selamanya
Engkau bisu, tersenyumpun tidak
“Aku bangkit Mia “
seperti katamu diahir nafas dulu :
“Kau mesti bangkit, jangan menyengsarakan diri dalam gaya hidupmu yang cuek menggembel,
hargailah diri, anak dan keluargamu,
mereka tidak akan melihat kwalitas otak dan sucinya hatimu tapi mereka menilai wujud nyata keadaanmu” ucapmu lirih
(maafkan dulu ku acuhkan,
Tapi Saat ini aku berjanji :
akan berusaha mengikuti nasihat keramatmu.
Percayalah….)
I love you for long time Mia…my world is empthy withaut you..!
Ntah dari mana kau dapatkan kalimat sakral ini,
aku tahu ini cuplikan
Akan tetapi tetap ku ingat dan kucatat selamanya
“Seorang laki-laki haruslah mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan
Selain harta, kehormatan sangatlah perlu
Untuk yang pertama,Uang bisa dicari dimana saja
Modalnya kemauan dan kerja keras
Tapi kehormatan ?
Ini soal lain.Untuk mendapatkannya dibutuhkan segala pengorbanan
Sejarah sudah banyak mencatat tentang lelaki perkasa yang kini jadi legenda
Jadi impian setiap wanita masa kini……”
Gadis ningrat berambut kepang dua, berbaju putih abu
Yang telah merampas cinta pertamaku
Ntah sampai kapan aku kesepian dalam ramainya dunia
aku tidak akan pernah sedih lagi,
percayalah
lalu ketika tiba jejakku didanau pemandian
kuingat pula syair sebuah lagu
dan aku membisikannya untukmu :
Ataukah ini siksa bagiku yang berdosa
Tetapi aku rasa hanya soal cinta
Jikalau dengan siksa dapat menebus dosa
Aku serahkan jiwa pada yang maha kuasa…
Aku serahkan semua pada yang maha kuasa
Akupun melangkah lagi
perlahan lahan meninggalkanmu dalam kenangan senja muram
Menuju waktu yang melaju dekati staciun
tapi ntah kapan kereta itu akan menjemputku
Tunggulah aku di pintu rahmatNYA
Dalam hari-hari abadi
Dalam kebersamaan cinta
Di Surga,surga,surga
Selamanya…?!
Diam,diam,diam dalam rahasia rasa nan panjang
hingga langitpun menghilang
ditelan zaman tanpa tujuan.
(Wisma Ruselia indah Juli 2021)