Hakekat Sembah Menyembah

Share posting

konsep peribadatan dan sembah menyembah dalam ilmu hakekat/tarekat

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm

Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Telah berkata Mursyid kami yang Agung Kangjeng Susuhunan Bonang :

Endi ingaran sembah sejati

Aja nembah yen tan katingalan

Temahe kasor kulane

Yen sira nora weruh

Kang sinembah ing donya iki

Kadi anulup kaga

Punglune den sawur

Manuke mangsa kenaa

Awekasa amangeran adan sarpin

Sembahe sia-sia

Manakah yang di sebut shalat yang sesungguhnya itu ?

Janganlah menyembah jika memang tidak mengetahui (melihat)

Yang nantinya malah akan membawa dirimu pada kerendahan

Jika di dunia ini

Engkau tidak mengetahui siapa yang disembah

Maka engkau seperti menyumpit burung

Pelurunya hanya disebarkan

Tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan

Akibatnya cuma menyembah ketiadaan

Suatu sesembahan yang sia-sia.

Apa yang dikatakan oleh Mursyid kami tentulah bukan hal mudah untuk difahami bagi awam apalagi bagi yang belum pernah mempelajari sama sekali ilmu tasawuf dan tarekat. Sebagai muridnya yang dlaif saya H Derajat ingin mencoba menjelaskan dari keilmuannya yang tidak bisa dikatakan bodoh yang bahasa Sundanya teu bodo-bodo acan (bahkan untuk dikatakan bodoh pun gak sampe apalagi dibilang pinter) :

Allah SWT bersifat Tunggal. Tak ada sesuatupun yang bersanding denganNya atau bersamaNya. Demikian secara konseptual ilmu tauhid memberikan kerangka acuan. Dalam hal ini, konsep tauhid tak membolehkan ada dua wujud yang bersanding dengan Allah SWT.

Jika demikian halnya, lalu seperti apa terjadinya ritual sembah-menyembah jika wujud Yang Disembah tak boleh mengimplikasikan dualisme wujud? Sebagaimana persepsi yang muncul di antara kita bahwa ritual shalat dikatakan sebagai menyembah Tuhan yang seolah-olah berada di hadapan orang yang shalat.

Padahal, konsep “saling berhadapan”, yang berimplikasi kepada dua wujud (antara wujud yang menyembah dengan yang disembah)  justru menyalahi konsep tauhid, dimana Allah SWT sebagai Pemilik mutlak Wujud Tunggal.

Mursyid kami telah menjelaskan secara gamblang mengenai konsep sembah-menyembah yang  clean (bersih) dari konsep dualisme wujud. Hal ini menjadi sangat penting untuk dipahami sebelum melaksanakan ritual ibadah sehingga si ‘abid tidak terjebak pada persepsi-persepsi ngawur yang berimplikasi pada kegagalan ritual, alias ibadahnya menjadi “mardûdatun lã tuqbalu” (tertolak dan tak diterima).

Mursyid kami telah berkata:

مِنْ تَمَامِ عِبَادَةِ الْعَبْدِ اَنْ يَعْلَمَ بِأَنَّ الْمَعْبُوْدَ ظَاهِرٌ فِى الْعَابِدِ وَإِلَّا فَلَا يَكُوْنُ عَابِدًا عَلَى الْحَقِيْقَةِ لِدُخُوْلِهِ فِى بَحْرِ الشِّرْكِ الْخَفِىِّ وَكَيْفَ لَا يَكُوْنُ كَذَلِكَ وَهُوَ الْعَابِدُ مِنْ حَيْثُ الْأَمْرِ مِنْهُ وَهُوَ الْمَعْبُوْدُ مِنْ حَيْثُ الْأَمْرِ يُرْجَعُ إِلَيْهِ، فَافْهَمْ وَلَا تُغَلِّطْ.

Min tamãmi ‘ibãdatil ‘abdi an-ya’lama bi-annal ma’bûda dhzãhirun fil ‘ãbidi, wa illã falã yakûnu ‘ãbidan ‘alal haqîqati lidukhûlihi fî bahrisy syirkil khafiyyi wa kayfa lã yakûnu kadzãlika wa huwal ‘ãbidu min haytsul amri minhu wa huwal ma’bûdu min haytsul amri yurja’u ilayhi. Fafham walã tughallith.

“Salah satu bagian dari kesempurnaan ibadah seorang hamba adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Yang Disembah itu telah Nyata pada diri si penyembah. Jika tidak demikian, maka si penyembah tak akan bisa berada dalam hakekat kebenaran (dalam hal sembah menyembah) karena sebab terjerembab dalam lautan syirik samar (khafiy) dan bagaimana hal itu tak terjadi demikian, dialah seorang penyembah dari segi ketika ia menerima perintah (dari Yang Disembah), dan Dialah Yang Disembah dari segi segala perintah yang dikembalikan kepadaNya. Pahamilah, dan jangan salah mengerti”.

Lebih lanjut Mursyid kami menjelaskan:

عُلِمَ وَعُرِفَ اَيْضًا كُلَّمَا تَوَجَّهَ اِلَى اَىِّ شَىءِ صُوْرَةٍ (كَانَ اَوْ) مَعْنًى وَجَدَ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ظَاهِرًا فِيْهِ وَمُتَجَلِّيًا بِهِ وَفِيْهِ وَلَهُ بِتَجَلِّى الْاِيْجَادِ وَالْخَلْقِ عُمُوْمًا بِالتَّجَلِّى الْخُصُوْصِىّ لَهُ عَلَى كُلِّ اَحَدٍ حَسَبُ قَبْلِيَّتِهِ خُصُوْصًا، فَاعْلَمْ ذَلِكَ .

‘Ulima wa ‘urifa aydhan kullamã tawajjaha ilã ayyi syai-in shûratan (kãna aw) ma’nan wajadal-Haqqa Subhãnahu wa Ta’ãlã dzhãhiran fîhi wa mutajalliyan bihî wa fîhi wa lahû bitajallil îjãdi wal-khalqi ‘umûman bit-tajallil khushûshiy lahuu ‘alã kulli ahadin hasabu qabliyyatihî khushûshan, fa’lam dzãlik.

“Sebagaimana telah diketahui dan disadari bahwa setiap kali menghadapkan wajahnya kepada sesuatu apapun, baik secara tersurat maupun tersirat, ia menemukan al-Haqq Subhaanahu wa Ta’aala secara dzhahir pada sesuatu tersebut dan tampak dengannya, padanya dan baginya dengan Tajalli pada makhluq dan ciptaan secara umum, namun demikian, Tajalli secara khusus baginya terdapat pada seseorang yang sebelumnya juga khusus. Ketahuilah akan hal itu”.

Penjelasan tersebut mengimplikasikan penjelasan lebih lanjut tentang arah qiblat secara hakiki, yang akan kami jelaskan pada artikel yang lain.

Kalimat “janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah” terlihat seperti kalimat ini bertentangan dengan ajaran islam yang mengharuskan umatnya untuk mengerjakan salat lima waktu sehari semalam padahal tidak demikian. Kalimat tersebut tidaklah bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an.

Pertama, dalam Al-Qur’an dikatakan “menegakkan salat”. Masyarakat banyak yang berpandangan bahwa menegakkan salat sama dengan mengerjakan salat, padahal kata tersebut memiliki makna yang berbeda.

Kata “mengerjakan salat” bermakna menjalankan salat hanya secara lahiriah. Namun yang dikehendaki dalam Al-Quran tidak demikian. Dalam Al-Qur’an untuk menyatakan perbuatan salat adalah  aqama. Arti aqama adalah menegakkan sesuatu dalam arti yang sebenarnya. Dalam salat terkandung tindakan “washala”, yaitu menyatukan diri dengan Tuhan sehingga makna menegakkan shalat atau wa aqimish shalah lidzikri lebih pada pengertian bahwa yang membuat kita mampu menyembah adalah karena yang kita Sembah memberikan kekuatannya agar kita mampu melakukan itu.

Kedua, salat harus dikerjakan dalam keadaa sadar sepenuhnya. Hal ini dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 23 disebutkan dalam salat setiap kata yang diucapkan harus dimengerti.  Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang mabuk tidak boleh mengerjakan salat. Jika dipahami secara arti yang mendasar, maka hanya orang yang bisa bahasa Arab saja yang wajib mengerjakan salat.  Jika, salat itu wajib dikerjakan oleh orang yang beriman, maka anggapan bahwa kalimat “mabuk harus dipahami sebagai keadaan sadar sepenuhnya. Dalam keadaan inilah orang mengerti kepada siapa dia harus menyembah”. Sehingga dalam konteks Salat maka kita wajib mengetahui secara benar kepada siapa Salat itu ditujukan atau kepada siapa kita menyembah.

Hakekat Menyembah

Semoga Allah merahmati kita semua dengan membukakan hijab KetuhananNya. Aamiin.

Wallãhu A’lam

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *