Menyaksikan Guru Setelah Wafatnya

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

Dalam ranah Tarekat, tidak jarang pertanyaan yang sering muncul ialah apakah guru Mursyid yang sudah wafat masih bisa membimbing (mentarbiyah) muridnya ? Jawabnya benar, bahwa seorang Guru Mursyid tetap bisa membimbing muridnya walau beliau sudah berada di alam kuburnya.

Sebagaimana dalam surah Ali ‘Imran Ayat 169 dikatakan :

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”

Mursyid kami yang mulia Abah Guru Sekumpul menerangkan tentang hal ini dalam kanal youtube sbb :

Pertanyaan ini secara akal memang tidak rasional karena mana mungkin orang yang sudah meninggal masih bisa membimbing orang lain. Namun dalam Kitab Jami’ Al Ushul fi Al Auliya’ ternyata dikatakan bahwa,

“Ketahuilah bahwa setiap wali itu memiliki keistimewaan dan kemampuan berbuat sesuatu tatkala masih hidup dan sesudah wafat.”

Kita bisa melihat misalnya guru mursyid tarekat Naqsyabandiyah Syekh Muhammad Baha’uddin dalam mengukir hakikat dan mengantarkan (murid) dalam bahrul wahdah, fana dan istighraq.

Kemudian Sultanul Aulia Syekh Abdul Qadir Al Jaelani yang memiliki karomah berbuat dan memberikan pertolongan, serta Syekh Ali Abu Hasan As Syadzily yang memiliki kemampuan (menyampaikan) ilmu dan wirid padahal mereka semua sudah wafat.

Syekh Ali Al Qurasyi berkata: “Saya melihat empat orang wali beraktivitas di dalam kubur mereka, sebagaimana aktivitas orang yang masih hidup. Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani, Syaikh Ma’ruf Al Karkhi, Syaikh Aqil Munji dan Syaikh Hayat bin Qais.”

Selain itu disebutkan pula dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub, sebagaimana pendapat jumhur ulama Ahlussunnah Wal Jamaah dikatakan bahwa Karamah para wali itu tetap ada (tsabitah) baik saat mereka hidup dan setelah wafatnya .

Bahkan tidak ada satupun dari empat Mazhab besar yang menafikan karamah setelah wafatnya, dan ketika itu karomah lebih utama. Sebab diri (nafs) pada saat itu dalam keadaan bersih suci dari aneka kotoran dan dosa.

“Siapa yang tak tampak karamahnya setelah wafatnya sebagaimana tampak ketika hidup, maka tidaklah benar (seorang wali).” (Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub)

Sebagian besar Syaikh ahli hakikat mengatakan bahwa,

“Sesungguhnya Allah mengutus malaikat kepada wali di kuburnya untuk memenuhi hajatnya. Dan terkadang wali tersebut keluar dari kuburnya untuk memenuhinya sendiri.” (Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub)

Kemudian dalam kitab Siraj At Thalibin Syarah Minhajul Abidin, karya Syaikh Ihsan Jampes Kediri, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mengatakan dalam Taqribul Ushul li Tashilil Wushul,

“Banyak Al Arifin (orang yang ma’rifatullah) menyatakan secara jelas bahwa seorang wali Allah sesudah ia wafat, ruhnya akan terhubung dengan para muridnya. Sehingga mereka (murid) sebab keberkahan gurunya itu mendapatkan limpahan cahaya dan anugerah dari Allah Swt.”

Maulana Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga menjelaskan akan hal ini. Beliau mengatakan bahwa,

“Perhatian seorang wali setelah ia wafat terhadap kerabat dan orang-orang yang ‘bersandar dan meminta perlindungan’ kepadanya lebih besar dibandingkan perhatiannya terhadap mereka saa masih hidup.”

Hal ini terjadi karena wali saat hidup sibuk untuk menunaikan kewajiban (taklif). Sementara setelah wafat, beban kewajiban (taklif) itu sudah hilang. Wali yang masih hidup punya sisi keistimewaan (karomah) dan tetap memiliki sisi manusia (basyariah).

Dari keduanya itu, boleh jadi salah satunya lebih dominan dibanding sisi lainnya. Apalagi di zaman seperti sekarang ini, sisi manusianya akan lebih dominan terlihat. Sedangkan bagi Wali yang sudah wafat sisi manusianya sudah hilang dan hanya tinggal sisi keistimewaan-nya saja.

Dari sini kita bisa pahami dan sangat jelas bahwa para wali memiliki kemampuan beraktivitas bahkan lebih leluasa setelah wafatnya. Oleh karenanya seorang wali Mursyid tidak akan pernah putus dalam membimbing ruhani para muridnya.

Saudaraku, mari kita tutup risalah ini dengan do’a sebagaimana dikatakan Syekh Abdul Fattah Abu Guddah yang menuliskan doa ampunan bagi guru-guru kita dalam catatan kaki kitab Risâlah al-Mustarsyidin:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allâhumma-ghfir li masyâyikhinâ wa liman ‘allamanâ wa-rhamhum wa akrimhum biridlwânikal ‘adhîm fî maq’adish shidqi ‘indaka yâ arhamar râhiîmiin

Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang. (Imam al-Haris al-Muhasibi, Risâlah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 141)

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *