Hati-Hati Membagikan Ilmu Pada Orang Yang Bukan Levelnya Karena Bisa Mengakibatkan Kehinaan Pada Diri Kita Sendiri
“Islam menekankan pentingya integritas dan kepribadian seseorang dalam menerima ilmu”
Oleh : H Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Guru kami berkata: “al-‘Ilmu darâjât“. Artinya, ilmu itu menunjukkan derajat seseorang. Sebuah ungkapan singkat, namun padat makna.
Sumber :
Islam mengajarkan pemeluknya untuk menjadi orang yang berilmu. Dengan ilmu, seseorang terhindar dari kesengsaraan dan tipu daya.
Ilmu mengangkat seseorang pada derajat yang tinggi. Dengannya pula seseorang menjadi mulia dan selamat hidup di dunia dan akhirat.
Akan tetapi bagi seseorang yang telah memperoleh suatu bidang ilmu tertentu, maka berhati-hatilah dalam mengajarkannya. Jangan sampai mengajarkan ilmu yang telah dikuasainya kepada yang bukan ahlinya.
Maksudnya pada orang yang belum mampu mengemban ilmu tersebut ataupun orang itu tidak berhak dalam memperoleh ilmu tersebut karena dikhawatirkan akan menimbulkan kemudharatan.
Di sinilah letaknya, bahwa ketinggian ilmu tidaklah ditentukan oleh kemahiran dalam berlogika. Akan tetapi, “wadah” (hati) yang lapang, kepribadian yang kokoh, pikiran yang jernih dan rasa yang “tepo seliro” akan menjadikan ilmu itu berada pada “persemayamannya” yang tepat. Dari sana cahaya manfaat ilmu untuk alam sekitar akan memancar.
“Persemayaman ilmu” yang tidak tepat akan menjadikannya poros malapetaka. Sebagaimana dalam Kitab at-Targhib wat-Tarhib yang ditulis oleh Abdul Adzhim bin Abdul Qawi bin Abdullah bin Salamah bin Sa’ad al-Mundziri yang dikenal dengan kunyah Abu Muhammad, ada dituliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah berbunyi:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنِ عَمَّارٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “طَلَبُ اْلِعلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَوَاضِعُ اْلعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ اَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ”. (رواه ابن مجاه)
Rasulullah SAW bersabda: “Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim, dan orang yang meletakkan (memberikan) ilmu kepada orang yang bukan ahlinya, maka ia seperti mengalungkan intan, permata dan emas kepada babi.”
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa ilmu itu terlalu besar, terlalu mulia, dan amat disayangkan bila jatuh pada orang yang bukan ahlinya atau yang tidak pantas menerimanya. Derajat ilmu akan menuntut marwahnya, jika si pemegang ilmu tidak amanah atau membawa ilmu pada jalan keburukan. Na’udzubillah min dzalik…
Dalam realitasnya, ada seseorang yang telah menguasai suatu ilmu tertentu lalu mengajarkannya kepada orang sudah tidak diragukan lagi kejahatan dan kebejatan moralnya, maka ilmu yang diberikan itu berpotensi akan digunakan untuk berbuat kejahatan. Saat itulah malapetaka akan mulai mengambil jalannya.
Dalam contoh keseharian, seperti seseorang yang telah menguasai ilmu mendalam semisal dalam bidang filsafat, bahasa, hukum dan lainnya namun mengajarkannya kepada orang yang belum waktunya memperoleh ilmu itu, semisal pada anak-anak, maka yang terjadi adalah ketidak-mampuan anak-anak dalam lindung nilai.
Anak-anak belumlah dikatakan mumpuni dalam memahami konstruksi nilai yang membangun etika. Karena itu, anak-anak bukanlah tempat yang tepat untuk meletakkan ilmu-ilmu yang berderajat “advance“.
“Ethics is important as a foundation for creating knowledge and better civilization”
“Jangan mengajarkan ilmu kepada yang bukan ahlinya”, begitu point yang dapat dipetik dari teks hadits di atas. Hal ini juga berarti agar jangan mengajarkan satu bidang keilmuan secara mendetail kepada orang yang memang tidak menggeluti bidang tersebut.
Seorang pakar sains tidaklah tepat jika mengajarkan berbagai rumus kepada seorang petani. Ahli filsafat tidaklah tepat mengajarkan ilmunya kepada ibu-ibu anggota Majelis Ta’lim yang ada di pelosok. Apalagi jika para pakar atau para ahli mengajarkan ilmunya kepada para koruptor, maka yang terjadi bukan hanya sekedar kesia-siaan, tapi akan menjadi bibit malapetka.
Akhirnya, ilmu yang agung itu akan dibawa pada tempat yang tidak semestinya, tidak tepat-guna, dan tidak berdaya-guna. Bagi mereka yang menyebarkan ilmu tanpa melihat kapasitas dan integritas yang menerimanya, bersiap-siaplah menjemput kehinaannya.
Berbuatlah dengan selaras. Jangan memaksakan pengetahuan tingkat “advance” kepada kalangan “beginner“. Cukupkanlah diri untuk mengajarkan hal-hal yang berada di permukaan saja, atau yang mudah dipahami secara umum tentang ilmu tertentu pada orang-orang yang tidak fokus pada bidangnya. Sehingga ilmu akan punya nilai kemanfaatan yang lebih luas dan tepat sasaran.
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
Allahumma Inniy As-aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqon thoyyiban, wa ‘amalan mutaqobbalan
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima“. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni
Wallâhu A’lamu bish-Shawaâb.