Rasulullah Selalu Berada Di Sisi Kita Selamanya
Oleh : H Derajat
Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita
Umat yang berbahagia adalah umat yang bisa meyakini bahwa Rasulullah masih hidup, bisa membimbingnya, menerima shalawat dan salamnya, menjadi imam shalatnya, mengajarkan ketakwaan, menurunkan ilmu yang dibutuhkan dalam hidupnya, bahkan Rasulullah berbahagia ketika kita bahagia dan sedih ketika kita bersedih hati.
Dalam satu ceramahnya Syekh Fathurahman seorang Mursyid Tarekat Idrisiyyah berkata tentang hadirnya Rasulullah SAW di kala dibutuhkan umatnya :
Bimbingan Rasulullah kepada umatnya tidak pernah mengenal waktu bahkan selama 24 jam setiap harinya terutama kepada para ulama mursyid yang mengajarkan ilmunya yang bisa dipertanggung jawabkan secara silsilah keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah. Tentang hal ini pernah kami jelaskan pada link :
Tentang masih hidup setelah kematiannya para Nabi, para Syuhada, dan para orang sholeh tentunya tidaklah bertentangan dengan firman Allah:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki,” (QS. Ali ‘Imran: 169).
Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: “Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas shalawat dari ummatnya.”
Ia menambahkan, “Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan dalam hadits yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi Musa as di langit keempat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadits kematian dari Syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya.”
Benar, ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi as. Hal itu terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi pada malam isra’ di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri shalat di kuburnya.
Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di mana secara global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap kematian para Nabi as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada kita, hingga kita tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup dan tidaklah melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh Allah diberikan kekhususan dengan karamah.
Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan al-Baihaqi dalam kitab Hayatul Anbiya’ mengeluarkan hadits dari Anas ra: Nabi saw bersabda: “Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala”.
Ku akhiri risalah ini:
اَللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ
Allāhummahdinī li ahsanil akhlāq. Lā yahdī li ahsanihā illā anta. Washrif ‘annī sayyi’ahā. Lā yashrifu ‘anni sayyi’ahā illā anta.
“Ya Allah, bimbimbinglah diriku pada akhlak paling terpuji karena tidak ada yang dapat membimbing kepadanya kecuali Engkau. Palingkanlah aku dari akhlak yang buruk karena sungguh tidak ada yang dapat memalingkannya dariku kecuali Engkau.”