Pemuda Ditengah Menguatnya Arus Politik Identitas

Share posting

Oleh: Nuni Nurbayani, M.Pd.I.

Nuni Nurbayani, M.Pd.,I., adalah Komisioner KPU Garut (foto istimewa-grahabignews.com)

 

Tahun politik tiba, maka bersiaplah kita memanen berbagai isu politik yang digoreng secara matang oleh buzzer-buzer politik. Sebagai siasat pemenangan calon yang diusung. Tahun politik berlalu, maka mereda pula beragam isu politik yang berhasil mempora-porandakan tatanan sosial masyarakat, trauma psikologis, ego sektarian, kubu-mengkubu, kelompok-mengelompok. Yang mana residunya masih terasa hangat. Narasi politik Identitas di tahun politik kemarin, adalah isu yang paling kencang berhembus dan berhasil menyebabkan polarisasi ditengah masyarakat. Intrik yang menjadi bumbu utama dalam kontestasi politik. Menguat dalam beberapa pemilu terakhir.

Dianugrahi keragaman budaya yang lahir dari ribuan pulau yang menjadi bagian wilayah Indonesia. Indonesia disebut sebagai negara kepulauan terluas di muka bumi. Lebih dari 17.000 pulau dengan etnisitas, sub-kultur, dan bahasa lokalnya. Di pulau Jawa saja tidak kurang dari 16 bahasa dipetuturkan. Apalagi Papua memiliki tidak kurang 252 suku, dengan bahasa khasnya masing-masing.

Selain itu, sejak abad 206 SM Indonesia juga tumbuh menjadi salah satu wilayah yang menjadi bagian jalur sutera. Jalur perdagangan melalui Asia Selatan yang dilalui oleh caravan dan kapal laut yang menghubungkan Changán, Republik Rakyat Tiongkok dengan Antiokhia, Suriah dan tempat lainnya. Konsekuensi, di Negeri Khatulistiwa ini hidup berbagai etnis. Baik itu etnis dalam negeri dan luar negeri. Maka, berdampingan hidup dengan berbagai etnis di Indonesia bukan hal yang baru. Dari sisi ini, Indonesia dapat mengambil keuntungan. Yaitu berkembangnya ekonomi, kebudayaan, pendidikan dan tekhnologi. Jika mindset masyarakat terbuka, Indonesia bisa mengambil peran, mengelola potensi dan kekayaan yang ada. Namun, akan menjadi bencana jika Indonesia masih berjalan ditempat, membangun narasi perbedaan, tidak bergerak maju.

Dari sisi pluralisme budaya saja, Indonesia adalah negara yang paling mudah di adu domba. Maka jika hingga hampir 8 dasawarsa Indonesia masih bisa bertahan dengan persatuan dan kesatuannya tanpa perpecahan yang berarti, ini merupakan anugerah yang luar biasa. Percikan-percikan api disintegrasi dari kontestasi politik tidak berhasil menyulut kobaran perpecahan yang mebakar Indonesia. Gaung persatuan dan kesatuan dalam pragmen sumpah pemuda yang lahir pada 28 Oktober 1928 berhasil mengkristal dihati rakyat Indonesia.

Namun tetap saja, jika percikan api dari politik identitas ini tidak ditangani dengan serius. Boleh jadi percikan yang sudah menghinggapi masyarakat ini kemudian menjadi bom waktu. Sektarianisme bermunculan bak kecambah yang diguyur air hujan. Sebuah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik yang banyak dibenturkan.

Politik Identitas di Indonesia

Pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres serta Pileg 2019 adalah sebuah gambaran nyata bagaimana politik Identitas yang mengarah pada perbedaan agama, suku dan ras dapat menekan pilihan politik pemilih. Menafikan, mengkafirkan pemilih dalam suatu agama yang memilih calon pemimpin dari agama yang lain. Misalnya pemilih Ahok yang beragama Islam pada pilkada DKI 2017 kemarin dilabelisasi kafir oleh pendukung dari calon gubernur yang lain. Labelisasi ini tentunya merupakan tekanan psikologis bagi pemilih.

Sebelum beranjak menarik benang historis mengenai kehadiran Politik Identitas di Indonesia. Akan kita potret beberapa gagasan mengenai Politik Identitas itu sendiri. Dalam gagasan Agnes Heller politik identitas adalah gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagaisatu kategori politik utama. Politik identitas muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikular, dalam bentuk relasi dalam identitas primordial etnik dan agama.

Sementara Lukmantoro dalam junal yang ditulis Juhana Nasrudin pada tahun 2018 berpandangan, politik identitas adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Politik Identitas merupakan tidakkan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan.

Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai-nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi

khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu.

Sedangkan Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitas politis (Cressida Heyes, 2007). Dalam pengertian yang lebih luas politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Jika dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender. (Hellner, 1994:4).

Politik Identitas ini sebetulnya sudah lama menjadi parasite hidup berdampingan di Indonesia hingga kini. Proses demokrasi di Indonesia sendiri tidak pernah terlepas dari orientasi identitas agama dan etnis. Hal ini dapat dilihat pada keikutsertaan partai-partai politik yang mengikuti pemilu atau pilkada sebelumnya. Sejak tahun 1955, partai-partai yang menjadi peserta pemilu mewakili pendukungnya dengan karakteristik agama atau etnis tertentu. Politik identitas ini muncul dalam kontestasi politik adalah sah-sah saja. Namun, jika mengarah kepada kekerasan pisik dan psikologis ini yang menjadi masalah. Karena bukan hanya identitas yang bisa menjadi komoditas politik pemenangan saat pemilu. Isu nasionalisme pun bereluang menjadi komoditas politik untuk memenangkan calon pemimpin minoritas.

Peran Pemuda dalam Arus Politik Identitas

Sejak perjuangan melawan kolonialisme hingga proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda memiliki peran penting dan strategis. Lahirnya organisasi penggerak kemerdekaan seperti Budi Utomo tidak lepas dari kehadiran pemuda didalamnya. Persatuan dan kesatuan yang hadir dalam naskah sumpah pemuda-pun dikawal dan dicetuskan oleh pemuda. Begitupun para pemuda turut mendesak lahirnya Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Lalu, bagaimana saat ini? Para pemuda yang diidentifikasi sebagai generasi Z, dalam litelatur WHO (World Health Organization) lahir dalam rentang waktu 1996-2005. Didalamnya disebutkan bahwa pemuda (youth) adalah individu-individu yang berusia 15-24 tahun. Senada dengan WHO, World Youth Report, dokumen yang dikeluarkan PBB juga mendefinisikan pemuda ialah mereka yang berusia 15-24 tahun. Sementara Undang-Undang RI nomor 40 tahun 2009 tentang kepemudaan menyebutkan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun.

Pemuda yang masuk pada cluster Generasi Z dalam berbagai literature disebut sebagai digital native (pribumi digital) angkatan pertama, terutama mereka yang lahir di perkotaan. Sebagaimana dicetuskan Marc Prensky (2001), Gen Z ini digambarkan sangat aktif dalam media social (sos-med addict) dan menggandrungi perangkat tekhnologi komputasi (gadget freak). Bagi mereka media sosial bisa menjadi referensi sekaligus alat partisipasi dalam diskursus publik. Seperti halnya riset di Inggris dan AS, tren menunjukkan politisasi anak muda dilakukan lewat beragam cara salah satunya melalui media sosial, tidak eksklusif lewat kaderisasi parpol atau ormas sayapnya.

Karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya adalah makin banyaknya aksi yang dilakukan secara personal dan diinisiasi oleh individu, bukan organisasi. Contohnya, banyak tersebar pemuda usia 17-21 tahun (angkatan tertua generasi Z) yang menjadi social influencer lewat unggahan di Facebook atau foto di Instagram, menyampaikan pendapat di vlog, status face book, whats up atau Line. Menghimpun dana sosial lewat Kitabisa.com, menulis gagasan melalui kultwit ataupun kolom opini, hingga membuat meme untuk menyindir pejabat.

Dalam perhelatan pemilu 2019, yang riuh dengan politik identitas. Gen Z ini sebagian menempatkan dirinya sebagai masyarakat yang apolitis. Asik dengan dunianya,  datang ke TPS mencoblos tokoh yang diinginkannya secara sembarang. Sebagin lagi turut  terbawa arus politik identitas dan menjadi bagian penyebar hoaks. Sisanya aktif bergumul dalam idealismenya sebagai agen perubuhan, berdiskusi, menulis, turut mejadi penyelenggara pemilu atau turun ke jalan menyampaikan aspirasi.

Dari karakter yang Gen Z ini intinya bagaimana pemerintah baik melalui media maupun pendidikan bisa mengaktivasi kesadaran mereka, memberikan pemahaman yang baik mengenai politik, agar tidak reaksioner dalam bertindak, dapat mengoptimalkan masa muda mereka untuk mengkaji dan berkiprah aktif di masyarakat dengan berbagai potensi yang mereka miliki.

*Penulis adalah Komisioner KPU Garut

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *