Urang Kanekes

Share posting

Oleh : Darpan

Selasa sore, sehari sebelum hari kemerdekaan negara kita, saya mendapati meme yang membuat saya masygul. Meme itu dikirim melalui salah satu grup whatsapp. Kelihatannya diteruskan dari grup lain. Saya agak emosional saat pertama kali melihatnya.

Meme yang dimaksud adalah olok-olok kepada Presiden Jokowi, karena ia berpakaian adat Baduy. Meme dibuat berdasarkan poto presiden saat datang untuk memberikan pidato kenegaraan di depan anggota MPR dan DPR RI. Kegiatan yang merupakan ritus tahunan menjelang peringatan hari kemerdekaan. Saya emosional karena pada meme tertera tulisan “pidato kepresidenan, kenapa dandanannya jadi begini?”. Plus ada emotikon ketawa yang bercucur air mata.

Emosi saya pertama-tama bukan tertumpah pada nada yang mengolok-olok kepala negara. Kemasgulan terutama karena meme ini menganggap pakaian yang dikenakan presiden tidaklah layak. Tidak diakui sebagai bagian kebiasaan presiden yang suka mengenakan pakaian adat. Mungkin pembuat meme menyangka bahwa itu bukan pakaian adat. Atau menyangka orang Baduy bukanlah masyarakat beradab yang punya adat atau tradisi.

Saya tidak tahu siapa yang pertama kali membuat dan menyebarkan meme itu. Namun belakangan ternyata cemoohan bukan cuma ditumpahkan pada meme.  Salah seorang jurnalis jurnalis portal berita   terkemuka juga membuat cuitan di Twitter dengan nada serupa. Sontak membuat gaduh. Sehari setelahnya, jurnalis tersebut dipecat dari portal berita yang cukup disegani itu karena dianggap tidak menghormati inklusivitas. Ia merendahkan suku Baduy.

Rupanya saya tidak sendirian. Apa yang saya rasakan juga dirasakan orang lain. Terhadap meme yang mengolok-olok itu, saya berpendapat pembuatnya memang harus diberi pelajaran. Lebih-lebih saya orang Sunda, dan orang Baduy adalah presentasi orang Sunda yang paling murni saat ini. Walakin mereka malah merendahkan.

Saya sendiri lebih suka menyebut warga Baduy sebagai orang Kanekes. Karena konon menurut para peneliti yang menelisik kehidupan mereka, Urang Kanekes tidak terlalu nyaman disebut orang Baduy. Sebutan Baduy kono berasal dari orang Belanda pada masa penjajahan dan secara etimologis berkonotasi negatif. Baduy berasal dari kata Badewi yang merujuk pada suku pengembara di padang-padang pasir jazirah Arab. Nomaden, dianggap terbelakang, dan liar.

Seperti kita tahu, sampai jaman Orba orang Kanekes suka disamakan dengan suku-suku primitif yang tinggal di pedalaman. Tinggal di tengah rimba yang jauh dari peradaban modern. Dianggap liar dan terbelakang. Tak ada listrik, tak ada sekolah, tak ada bangunan-bangunan permanen, tinggal di belantara hutan dan hidup dengan cuma mengandalkan berladang. Stigma yang khas pada zaman di mana terminologi pembangunan didewa-dewakan.

Stigma baru berubah setelah para antropolog menemukan kearifan lokal yang justru tak dimiliki orang “beradab”. Sebaliknya kita yang merasa telah beradab dan maju oleh pembangunan justru bertindak destruktif dan senang merusak lingkungan. Kita kehilangan kearifan lokal. Justru kearifan-kearifan itu dimiliki oleh kelompok orang yang kita sebut terbelakang. Seiring dengan munculnya kesadaran terhadap isu-isu global, komunitas yang berpegang teguh pada tradisi seperti dilakukan Urang Kanekes mulai dilirik.

Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, buyut teu meunang dirobah” adalah pikukuh Urang Kanekes yang terkenal. Pikukuh itu mendedahkan sikap Urang Kanekes yang dengan komitmen dan disiplin tinggi memelihara ajaran nenek moyang. Aturan (buyut) jangan sekali-kali dipermainkan. Yang panjang tak bisa dipotong. Yang pendek tak bisa disambung. Gunung harus dijaga, lembah jangan dirusak. Pikukuh ini berbanding terbalik dengan kehidupan orang-orang modern yang seringkali mempermaikan hukum, mengubah-ubah aturan, meratakan hutan dan gunung, mencemari sungai dan lembah.

Bagi orang yang tidak mengenal secara dekat dengan Urang Kanekes mungkin ada yang menganggap pikukuh mereka berlebihan. Cobalah sekali-kali berkunjung ke Kaduketug. Lalu menyusuri jalan setapak ke Gajeboh. Jika lelah tak harus masuk lebih dalam ke Cibeo, Cikertawana, atau Cikeusik. Itulah wilayah Kanekes di Banten Selatan di mana akan kita temukan komunitas tradisional yang kemudian disebut orang Baduy. Wilayah pegunungan, yang jika kita susuri lebih ke dalam akan kita temui eksotisitas alam yang begitu perawan.

Saya sendiri begitu mengagumi mereka dari persfektif kebudayaan. Ya, mungkin, jika dilihat dari kacamata modernitas mereka serba tertinggal. Tetapi seringkali slogan orang-orang modern yang acapkali hanya lips service, faktanya kita temukan di Kanekes. Karena alasan itulah, saya berpikir Urang Kanekes sebenarnya laboratorium alam dan manusia di mana kita bisa mengevaluasi diri sendiri. Kanekes adalah tempat bercermin orang-orang modern untuk mengukur apa yang sudah diperbuatnya.

Satu hari saya mengikuti upacara seba Urang Kanekes. Upacara tahunan setelah mereka melaksanakan puasa Kawalu. Kebetulan yang saya saksikan adalah Seba Ageung, di mana hampir seluruh lelaki di wilayah Tangtu, Panamping, dan Dangka serempak mengikuti seba (persembahan) dengan jalan kaki untuk bertemu Ibu dan Bapa Ageung. Yang dimaksud Ibu Ageung adalah Bupati Lebak yang berkantor di Rangkasbitung dan Bapa Ageung adalah Gubernur Banten yang berkantor di Serang.

Seperti kita tahu, ketika berjalan orang Kanekes tidak pernah bergerombol. Selamanya berbaris ke belakang. Ratusan bahkan ribuan orang berjalan kaki dengan cara seperti itu. Konon kebiasaan ini untuk menghidari obrolan di jalan. Mereka juga sangat dilarang untuk menaiki kendaraan, terutama bagi mereka yang berasal dari wilayah Tangtu (Baduy Jero). Pun demikian ketika mereka sampai di pendopo kabupaten atau gubernuran. Ratusan bahkan ribuan orang duduk berdesakan untuk diterima Ibu dan Bapa Ageung tanpa bicara. Hening! Melihat pemandangan ini, tiba-tiba saya ingat slogan pada iklan rokok: Talk Less, Do More!

Kebiasaan mereka yang tak suka banyak bicara juga ditemui di sepanjang perkampungan Kanekes di kawasan hutan Leuwidamar. Dari Kaduketug sampai Gajeboh yang merupakan perbatan atawa wilayah Tangtu dan Panamping (luar dan dalam), banyak kita temui permukiman. Di sana, dapat kita temui orang-orang menenun di tepas rumah, atau berjalan memikul hasil bumi, tanpa bicara. Jaro Dainah, salah seorang pimpinan Kanekes untuk pemerintahan, mengatakan: jika sedang bekerja orang Kanekes memang dilarang banyak bicara. Cacahan aya waktuna! (mengobrol itu ada waktunya).

Atas semua kearifan lokal yang dipelihara melalui buyut (aturan hukum lokal) tak pernah kita dengar ada bencana besar di Kanekes. Hutan terpelihara, lembah dijaga. Ketahanan pangan mereka juga luar biasa karena persediaan pangan di leuit tak pernah susut. Saat pandemi melanda negeri kita dan dunia, di mana tingkat kematian begitu tinggi, di Kanekes justru zero kasus.

Jadi, siapa sebenarnya yang terbelakang? Kita yang berpendidikan maju, yang menikmati hasil hingar bingar pembangunan, justru setiap waktu dihantui bencana alam karena rusaknya lingkungan, bencana kelaparan, atau bencana pandemi seperti saat ini. Sementara orang-orang di kampung adat, ternyata lebih tanggung dan kuat.

Maka dari itu, saya ikut marah ketika mereka disepelekan!

 

Catatan :

Penulis adalah Guru di SMAN 1 Garut

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *