Kefakiran Sebagai Tujuan Sufi

Share posting

Oleh : Pasulukan Loka Gandasasmita


Ilustarasi-epublika.co.id

menjadi fakir bagi orang yang bertarekat adalah tujuan perjuangannya dan kefakiran adalah sifat dasar manusia namun jarang ada yang menyadarinya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm

Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang budiman, salah satu metodologi tercepat yang dapat ditempuh oleh seseorang dalam suluk (perjalanan menuju) Allah adalah mendapatkan dirinya berada pada keadaan faqir (kefakiran).

Dalam konteks dan wacana sufisme, arti dan substansi kefakiran itu berkonotasi pada adanya dua pemaknaan.

Yang pertama adalah kefakiran yang dipahami sebagai rasa butuh yang terus menerus dan tak mengenal jeda kepada Allah Swt. Alasannya sudah jelas, seluruh makhluk tidak akan ada yang bisa eksis tanpa ditopang oleh pertolongan-Nya.

Yang kedua adalah kefakiran yang dipahami dan dirasakan secara spiritual bahwa tidak ada apa pun yang betul-betul dimiliki oleh makhluk. Bahkan diri mereka sendiri, hidup dan mati, sehat dan sakit, muda dan tua, jaga dan tidur, dunia dan akhirat mereka, semua itu sama sekali bukanlah milik mereka, tetapi milik Allah SWT semata.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللّٰهِ ۖ وَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Yâ ayyuhan-nâsu antumul-fuqarâ-u ilallâh, wallâhu huwal ghaniyyul hamîd

“Wahai manusia, kalian semua sungguh fakir (sangat butuh) kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (QS. Fathir [35]: 15).

Karena manusia merupakan makhluk yang paling mulia sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,”(QS. Al-Isra’ [17]: 70), maka dimensi dan substansi kefakiran manusia menjadi lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan dengan kefakiran yang bersemayam pada makhluk-makhluk lain.

Lebih jelasnya, kefakiran merupakan sesuatu yang pasti bahwa semakin kuat kefakiran atau rasa butuh seseorang kepada Allah SWT, maka ia menjadi semakin mulia dan terhormat di hadapan hadirat-Nya. Hal itu tidak lain merupakan sebuah cerminan cemerlang dari kesadaran hakiki seseorang tentang kedudukan Allah SWT sebagai prima kausa di satu sisi, dan kedudukan dirinya sendiri sebagai efek semata dari kehendak-Nya pada sisi yang lain.

Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Sirr al-Asrâr fî Kasyf al-Anwâr : ada tiga jenjang kefakiran yang mesti ditempuh secara spiritual oleh orang-orang beriman.

Pertama, faqr al-Dzat. Yaitu pengakuan mengenai adanya rasa butuh terhadap ke-MahaEsaan-Nya dalam memberikan pertolongan terhadap seluruh makhluk. Dalam hal ini, baik orang beriman maupun orang yang kufur akan sama-sama menyeru Allah SWT ketika mereka merasa terdesak menghadapi kondisi getir yang menggocoh mereka.

Kedua, faqr al-Shifat. Yaitu kefakiran yang dirasakan dan dialami para wali. Ketika dengan karunia Allah SWT mereka terbebaskan dari berbagai belenggu dunia dan jebakan akhirat nanti. Lalu mereka sampai pada alam tauhid yang murni, maka semua sifat yang semula dinisbatkan kepada mereka, seperti tamak, syahwat, menggebu terhadap pangkat dan kekuasaan, semua itu lenyap dari mereka.

Mereka laksana burung yang tidak sanggup terbang karena sayapnya tergunting habis. Mereka lalu merasa sangat membutuhkan sifat-sifat kemuliaan yang dikirim dari arah hadirat Allah SWT agar bisa melesat “terbang menuju “alamat-Nya”.

Ketiga, faqr al-Af’al. Yaitu kefakiran yang disandang oleh para nabi. Pada setiap hendak melakukan tindakan dan mengambil keputusan, mereka senantiasa membutuhkan izin Allah SWT terlebih dahulu. Andaikan izin itu tidak ada, mereka tidak akan pernah lancang untuk melakukan sesuatu atau mengambil keputusan apa pun.

Wallâhu A’lamu bish-Shawâb

Referensi: Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT) : “Allah Maha Pencemburu”; Kuswaidi Syafi’ie; Yogyakarta : DIVA Press, 2016.

Source :

https://pasulukanlokagandasasmita.com/arti-sufistik-kefakiran/

Semoga bermanfaat…

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *