Jangan Remehkan Orang Yang Istiqomah Melakukan Kebaikan

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : Fitri Laela Derajat

Ibu Fitri Laela Derajat (foto file grahabignews.com)

Aku pernah bertanya kepada suamiku tentang kenapa kami sebagai istri dan anak-anaknya diwajibkan untuk berdzikir kapan dan dimanapun berada. Suamiku (H Derajat) menjawab dengan sesuatu yang terus mengundang tanya dalam hatiku setiap hari :”Dunia tak akan pernah kiamat sehingga tiada lagi orang yang menyebut Allah, Allah, Allah, lagipula ketika kamu berdzikir sesungguhnya bukan kamu yang berdzikir tetapi ketahuilah Allah lah yang berdzikir melalui raga, hati dan pikiranmu itu. Maka dari itu bersyukurlah kepadaNya bahwa Allah sedang mensucikan dirimu melalui dzikir itu.

Dan setelah beberapa waktu sejak suamiku menjawab demikian aku menemukan hadist berikut :

Dalam riwayat sahih Imam Muslim disebutkan:

عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لَا يُقَالَ فِي الْأَرْضِ: اللهُ، اللهُ

“Dari Anas, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: Kiamat tak akan terjadi hingga di muka bumi tak disebut: Allah, Allah.” (HR. Muslim)

Dalam Kitab Al Hikam dikatakan :

“Ketika kau melihat seorang hamba, yang dianugerahi Allah dengan adanya wirid-wirid serta diberi kekuatan untuk melanggengkan wirid-wiridnya (wirid: dzikir yang dilanggengkan), maka jangan sekali-sekali engkau meremehkan apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebab, engkau tidak betul-betul tahu tanda-tanda kearifan yang ada dalam dirinya. Maka alasan engkau meremehkannya lantaran (dalam pandanganmu) ia tidak memiliki tanda-tanda kearifan, tidak pula memiliki cahaya cinta, bukanlah sesuatu yang pasti (karena engkau hanya mengetahui luarnya, sedang batinnya hanya Allah yang tahu). Maka seandainya tidak ada Dzat yang menganugerahinya wirid, dia tidak akan langgeng menjalankan wiridnya (maksudnya: ada sebab atau kekuatan Sang Maha Kuat yang telah menggerakkannya, maka jangan engkau meremehkannya).”

[Ibn ‘Athaillah; Al-Hikam]

Suatu ketika, Syekh Ali Jum’ah Mufti Mesir bertanya kepada salah seorang muridnya: “Hai muridku, apakah engkau selalu melanggengkan wiridmu?”

Murid beliau menjawab: “Iya guru. Tetapi ada masalah ekonomi yang selalu menimpaku, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial.”

Syekh Ali Jum’ah menjawab: “Jangan merasa susah. Istiqamahkan saja wiridmu. Hal-hal yang demikian adalah rintangan yang mengganggumu supaya tidak istiqamah. Ingatlah bahwa istiqamah sungguh lebih baik dari seribu karamah (kemuliaan).”

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang menjelaskan cara-cara berdzikir untuk selalu mengingat Allah, sebagaimana berikut:

فإن أصل طريق الدين القوت الحلال وعند ذلك يلقنه ذكراً من الأذكار حتى يشغل به لسانه وقلبه فيجلس ويقول مثلا الله الله أو سبحان الله سبحان الله أو ما يراه الشيخ من الكلمات

“Maka sesungguhnya dasar dari jalan tasawuf adalah makanan yang halal. Maka ketika itu terpenuhi, hendaknya seorang guru mendiktekan pada muridnya salah satu macam dzikir hingga lisan dan hatinya sibuk dengan itu. Ia duduk dan misalnya berkata: “Allah, Allah” atau “Subhanallah subhanallah” atau redaksi lain yang diajarkan oleh gurunya.” (al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, III, 77).

Sebenarnya nasihat ini ku tujukan untuk diriku sendiri, kulihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat, nishabnya adalah kemampuan untuk memetik nasihat itu bagi dirinya sendiri. Seseorang yang belum mencapai nishab, bagaimana ia akan mengeluarkan zakat ? Dan seorang yang tak memiliki cahaya, bagaimana dapat dijadikan sebagai alat penerang oleh orang lain? Bagaimana bayangan akan lurus jika kayunya bengkok ? Allah swt mewahyukan kepada ‘Isa bin Maryam AS :

“Nasihatilah dirimu, jika kau mampu memetik nasihat, maka nasihatilah orang lain. Jika tidak, maka malulah kepada-Ku”.

Untuk itu sudilah memaafkan apabila saya ikutan menshare ajaran suami saya walaupun sesungguhnya saya belum pantas untuk menasihati orang lain.

Ku tutup risalah kecil ini dengan do’a :

اللهم أعني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك

“Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika”

Artinya;  “Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu”.

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *