Umat Islam Harus Berpolitik

Share posting

apabila orang-orang baik diam dan tidak menentukan sikapnya dalam menentukan calon pemimpinnya dengan cara berpolitik, maka orang-orang yang buruk akhlaknya akan menggantikannya menjadi pemimpin.

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita


Ilustrasi-Yoursay – Suara.com

Sahabatku, Presiden Joko Widodo sejak awal pemerintahan beliau sudah mencanangkan dan mewajibkan bangsa ini untuk melakukan Gerakan Nasional Revolusi Mental, seperti apa sih Revolusi Mental itu? Bukankah Revolusi mental itu telah dicontohkan Rasulullah sejak dulu? Bukankah Islam ini bangkit dengan menunjukkan kemuliaan akhlak, itu yang dikehendaki Rasulullah SAW?

Menurut bapak Wakil Presiden RI, Prof Dr KH Makruf Amin bahwa perubahan kehidupan masyarakat yang dilakukan Nabi Muhammad terjadi dengan sangat signifikan dan dilakukan hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Salah satu modal utama membangun bangsa dan negara tentu saja perbaikan akhlak dan mental masyarakat.

Menurut Kiai Ma’ruf, pada upaya melakukan perubahan masyarakat itu, Nabi Muhammad terlebih dulu mengutamakan perbaikan akhlak karena merupakan fondasi dari berbagai langkah perjuangan berikutnya.

“Di awal masa kenabian beliau fokus pada perbaikan akhlak dan mental. Beliau sendiri mengatakan:  Innama buitstu li utammima makarimal akhlaq. Bahwa beliau tidaklah diutus ke bumi, selain untuk menyempurnakan akhlak manusia,” tuturnya.

“Kita bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam sangat layak untuk meneladani apa yang telah beliau lakukan. Semoga bangsa kita bisa bangkit dan menjadi bangsa yang terbaik di masa mendatang,” imbuh Pak Wakil Presiden.

Namun ketika kita melaksanakan revolusi mental dengan melaksanakan akhlak mulia melalui tuntunan agama yang kita anut maka ada cap baru dengan istilah Politik Identitas. Biar gak pada bingung dengan istilah baru, yuk kita gali pengetahuan politik Islam pada link berikut :

Umat Islam Harus Berpolitik

Gus Baha dalam kanal Youtubenya sudah memberikan penjelasan kongkrit tentang wajibnya orang Islam untuk berpolitik :

Berpolitik Adalah Perintah Allah SWT

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Hai   orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil  orang-orang  yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).  Dan  bertakwalah kepada Allah  jika  kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 57)

Ayat tersebut cukup menjadi dasar buat kita. Jika disimpulkan, dalam ayat tersebut terkandung sebuah makna yang berisi perintah Allah SWT agar umat Islam berpolitik. “Janganlah engkau jadikan pemimpin seseorang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan“. Memilih atau menjadikan seseorang sebagai pemimpin, bermakna “berpolitiklah”.

Ayat di atas juga memunculkan sebuah kriteria bagi seseorang yang layak untuk dijadikan pemimpin. Agama dalam terminologi ayat di atas adalah sebagai basis nilai untuk menentukan pemimpin yang bermoral. Lalu bagaimana seorang calon pemimpin yang mengolok-olok agama bisa memiliki akhlak untuk menjalankan kepemimpinannya,  lha wong basis nilainya saja ia olok-olok.

Alih-alih memunculkan teori fairness dalam politik, narasi “politik identitas” seringkali dijadikan sebagai alat untuk memlintir dan memberikan stigma buruk untuk lawan-lawan politik yang lebih memiliki moral dengan basis agama. Karena itu, umat Islam mutlak dituntut cerdas dalam politik sehingga tetap menjadikan agama sebagai parameter nilai bagi calon pemimpin.

Karena agama sebagai basis moral seorang pemimpin, maka seorang pemimpin yang cakap dalam agamanya adalah keniscayaan dalam politik umat Islam. Kita harus memilih pemimpin yang memiliki aqidah yang kuat dalam agamanya. Soal bagaimana gaya kepemimpinan, itu bisa bermakna seribu satu macam. Artinya, kecerdasan spiritual yang berbasis agama akan mengiringi gaya kepemimpinan ketika ia menjadi pemimpin.

Seorang pemimpin yang memiliki mindset bahwa jabatan adalah amanah yang dititipkan Allah dan RasulNya, maka kepemimpinan yang didasarkan atas kesadaran ini akan menentukan kepemimpinan yang adil sejahtera, tidak menjadikan agama sebagai bahan ejekan, dan akan menjadikan bangsa ini menjadi negara maju tapi tetap beradab.

Kita tidak mengharapkan semata-mata sebuah negara dengan visi negara dan bangsa yang maju namun kering akan nilai agama. Negara maju yang kering nilai hanya akan menggiring bangsanya menuju lubang kehancuran dan kebinasaan. Pada sisi ini, sosok pemimpin yang berpikiran maju adalah pemimpin yang cakap akan nilai-nilai yang terkandung dalam agamanya. Itulah kriteria pemimpin bagi umat Islam.

Rasulullah SAW sering berdo’a : “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR Muslim dan Ahmad).

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *