MAN ANA LAULAKUM

Share posting

Siapakah aku tanpa kalian wahai Guruku ?

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

H Derajat dengan Radja Nafrizal, bertarekat adalah bersaudara hingga maut memisahkan. (foto istimewa-grahabignews.com)

MAN ANA LAULAKUM

Siapakah aku tanpa kalian wahai Guruku ?

Mari Kita simak syair lagu berikut ini :

Inilah syair lagu yang mencerminkan rasa cinta murid kepada Mursyidnya. Lagu ini banyak dilantunkan oleh orang-orang yang bertarekat sebagai penghormatan kepada Mursyidnya yang mempunyai sanad silsilah keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah.

Sehingga para murid menyerahkan sepenuh jiwanya kepada Mursyid pembimbingnya bukan menganggap dirinya telah sampai kepada Allah dengan teori-teori yang bertumpuk, dengan studi banding, dengan bertumpuknya buku-buku belaka yang akan mengisi benaknya dengan teori-teori. Berikut aku sertakan pula kisah ketika Rasulullah mengajarkan Tarekat kepada Sayyidina Ali yang jelas tanpa teori yang muluk dan sulit difahami.

Adapun Hadis yang dijadikan sebagai dalil bahwa Ali telah menerima Tarekat dari Nabi adalah didasarkan pada Hadis ketika Nabi membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi :

وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ  وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ .

Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakan, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ‘ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah’. Maka berkatalah Ali, ‘tiap orang berzikir kepada Allah.’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah’, maka sahut Ali kepada Rasulullah, “bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah?” Maka Rasulullah bersabda: “coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katupkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.”

Lidah Ali telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah. Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah. Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan Allah, maka Ali berkata :

رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ

“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.

Setelah Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di hadapan para umat dan berkata :

اَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا

“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Dari beberapa Hadis di atas mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar “Karamullah Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang wajah Allah.

Jadi syarat utama untuk menjadi seorang guru atau pemimpin Tarekat adalah harus mencapai maqam fana fillah dan tradisi ini tetap dipegang teguh di kalangan ahli-ahli Tarekat hingga kini. Demikianlah ketatnya para Sufi dalam memelihara keotentikan ilmu yang mereka peroleh dari Rasulullah; sehingga bila ada Tarekat yang silsilahnya tidak dari Nabi ke Ali ibn Abi Thalib maka Tarekat tersebut tidak dapat diterima, namun demikian kami pun bisa memaklumi dan menerima dengan baik silsilah tarekat yang bersambung dari Sayyidina Abu Bakar. Jadi, wajib hukumnya bagi penganut Tarekat mempunyai Guru yang memiliki Sanad Silsilah keilmuannya yang bersambung hingga ke Rasulullah SAW.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tarekat adalah untuk mengenal Allah, sedangkan Tasawuf bertujuan untuk mengarahkan orang untuk mempelajari Ilmu Tarekat. Sebagai contoh, di dalam Tasauf terdapat ajaran bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Bisthami : ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”. Adapun maksud dari ungkapan tersebut bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru adalah bahwa Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat dipelajari tanpa terlebih dahulu mempelajari Ilmu Tarekat, dan mustahil Ilmu Tarekat dapat dipelajari tanpa melalui guru. Sebab Ilmu Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek sedangkan Ilmu Tasawuf bersifat teori. Oleh sebab itu Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh Ilmu Tarekat. Artinya kita tidak akan dapat memahami Ilmu Tasawuf tanpa bantuan guru, sebab tujuan dipelajarinya Ilmu Tasawuf adalah untuk mengenal Allah. Untuk dapat mencapai pengenalan kepada Allah tidak dapat dipelajari lewat teori, akan tetapi harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah sebagaimana Hadis Nabi SAW :

عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ

Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)

Berdasarkan keterangan Hadis di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang serta Allah, artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid al-Bisthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadis Nabi SAW :

مَنْ لاَشَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.

Maksudnya adalah mustahil mereka dapat memahami ajaran Tasawuf tanpa melalui guru, apalagi untuk dapat mengenal Allah yang ghaib. Maka sudah barang tentu gurunya adalah syetan, artinya tanpa bantuan guru mustahil Allah dapat dikenal.

Ku tutup dengan do’a seorang murid untuk Gurunya :

لولا المربي ماعرفت ربي

Jikalau bukan karena guruku, niscaya tidak ku kenali Tuhanku

لولا محبتكم ماجئت من بلدي

Jikalau bukan karena rasa cinta kepada-mu,, maka aku tidak akan datang dari kampungku,,

يا هلالي يا شمسي يا قمري

Wahai bulan sabitku,, wahai matahariku,, wahai bulanku,,

لا تكسبوني ابغي عنكم بدلا

Jangan pernah engkau menyuruhku mencari

pengganti darimu,,_

ولا أكون أنا من ذكركم ناسى

Sebab aku tidak akan pernah bisa lupa dari mengingatmu,,

لو يقبض الله روحي صار ذكركم

Jika Allah Ta’ala mencabut ruhku,, maka mengingatmu,,

ذكرا اعيش به ما دمت في الناس

Menjadi kenangan selama aku hidup di tengah-tengah manusia,,

اطال الله في عمرك في خير ولطف وعافية

Semoga Allah Ta’ala memanjangkan umur mu Wahai Guruku,, di dalam kebaikan,, kelembutan dan kesehatan,,

و نفعنا الله بك وبعلومك

Serta semoga Allah Ta’ala memberi manfaat kepada kami dengan sebab keberkahan dirimu dan dengan sebab keberkahan ilmumu,,

ويجمعنا بك في الفردوس الأعلى مع الحبيب المصطفى

Dan Allah Ta’ala sudi kiranya mengumpulkan kami bersama mu serta juga bersama Nabi al-Musthafa di syurga Firdaus,,

ببركة الصلاة على المختار سيدنا

Dengan keberkahan shalawat serta salam yang selalu tercurahkan kepada pemimpin kita yang terpilih,,

محمد المصطفى من خيرة الناس

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,, pilihan yang terbaik dari sekalian manusia,,

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *