MELALUI KELAPARAN MURSYIDKU MENIMBA PELAJARAN TASAWUF

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

ilustrasi

Bismillahirrohmanirrohim

Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

Seseorang menjadi seorang Sufi apalagi menjadi Guru Tarekat bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Jalan terjal dan berliku harus dijalaninya, banyak penderitaan yang harus dialami kadang kelaparan, kadang dianggap gila, kadang banyak dijauhi orang-orang sekitar dll.

Banyak pula orang Tarekat mengalami guncangan dari sisi hubungan keluarga dan lain-lain. Berikut yang dapat saya kisahkan adalah seorang Mursyid Tarekat, Sufi Agung dan Quthb Aulia Syeikh Abdul Qadir Jailani yang manaqib kehidupannya banyak dibaca oleh umat Islam, termasuk oleh umat Islam di Indonesia. Namun, siapa sangka bahwa pada masa mudanya, beliau pernah berada dalam keadaan sulit ketika sedang menempuh sebuah perjalanan.

Hal ini seperti yang diceritakan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya  Dzailu Thabaqatil Hanabilah sebagaimana dikutip oleh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya  Shafahat min Shabril Ulama’, Bahwasanya Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob (kacang dengan rasa dan aromah coklat. Hanya ada di Timur Tengah, sebagai pengganti untuk orang-orang yang alergi coklat) dari tepi kali dan sungai.”

Kesulitan yang menimpa Syekh Abdul Qadir saat itu karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad pada saat itu. Sehingga membuat beliau tidak makan selama berhari hari.  Bahkan beliau hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untuk kemudian dimakan oleh beliau.

Hingga suatu hari karena sangat lapar, beliau pergi ke sebuah sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran atau selainnya yang bisa untuk dimakan. Tetapi beliau tidak mendatangi tempat yang sudah didatangi oleh orang lain. Dan ketika beliau mendapatkan tempat untuk mengais sisa makanan namun ada orang-orang miskin yang telah memperebutkannya, beliau membiarkannya dan tidak ikut untuk mengambil, walaupun beliau dalam keadaan membutuhkan dan juga kelaparan.

Ketika beliau pulang dan berjalan di tengah kota, beliau juga tidak melihat sisa-sisa makanan yang terbuang karena telah ada yang mengambilnya. Karena begitu mahalnya bahan makanan pada saat itu.

Hingga akhirnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani tiba di Masjid Yasin yang ada di pasar minyak wangi di Baghdad. Beliau benar-benar berada dalam keadaan kelelahan, dan tidak mampu menahan tubuhnya. Akhirnya, beliau masuk masjid dan duduk di salah satu sudut yang ada di masjid tersebut. Bahkan beliau mengakui, dirinya hampir menemui kematian.

Tiba-tiba ada pemuda non-Arab masuk masjid. Pemuda tersebut membawa roti dan daging panggang. Ketika pemuda tersebut makan, mulut Syekh Abdul Qadir al-Jailani ikut terbuka karena saking benar-benar kelaparan. Hingga beliau bergumam, “Apa ini?, di sini hanya ada Allah Swt atau kematian yang telah ditetapkan.”

Tiba-tiba sang pemuda menoleh kepada beliau dan berkata, “Bismillah. Makanlah wahai saudaraku.”

Mendapat tawaran tersebut, beliau menolak. Namun sang pemuda bersumpah untuk memberikan makanannya kepada Syekh Abdul Qadir. Namun, jiwa beliau berbisik untuk tidak menuruti untuk menerima pemberian tersebut. Sang pemuda pun kembali bersumpah, hingga akhirnya beliau pun menerima pemberian tersebut.

Akhirnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani memakan makanan tersebut, namun dengan keadaan tidak nyaman. Sang pemuda lalu bertanya kepada beliau, tentang apa pekerjaannya, dari mana asalnya dan julukannya.

Syekh Abdul Qadir pun menjawab pertanyaan tersebut dan menjelaskan, bahwasanya beliau adalah orang yang sedang mempelajari fiqh yang berasal dari Jailan. Sang pemuda lalu berkata, “Aku juga dari Jailan!” Pemuda tersebut lalu bertanya, “Apa kau mengetahui seorang pemuda yang bernama Abdul Qadir. Dia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma’i az-Zahid?”

“Itulah aku.” Jawab Syekh Abdul Qadir. Mendengar jawaban tersebut, sang pemuda gemetar dan wajahnya sontak berubah. Pemuda tersebut lalu berkata, “Demi Allah. Aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini, aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku karena darurat.  Maka aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena ia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”

Mendengar hal tersebut, Syekh Abdul Qadir bertanya, “Bagaimana ceritanya?” Si pemuda lalu menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.”

Syekh Abdul Qadir al-Jailani kemudian menenangkan dan menentramkan hatinya. Dan memberinya sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal, ia pun menerimanya dan pergi.

Musibah, cobaan dan penderitaan memang identik dengan kadar kesolehan, keimanan dan kualitas bagi para penempuh Tarekat Tasawuf sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيْهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ اَلْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيْئَةٍ

Dari Mush’ab bin Sa’d dari Ayahnya Sa’d bin Abu Waqash dia berkata, Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras cobaannya?” beliau menjawab: “Para Nabi, kemudian kalangan selanjutnya (yang lebih utama) dan selanjutnya. Seorang hamba akan diuji sesuai kadar agamanya (keimanannya). Jika keimanannya kuat maka cobaannya pun akan semakin berat. Jika keimanannya lemah maka ia akan diuji sesuai dengan kadar imannya. Tidaklah cobaan ini akan diangkat dari seorang hamba hingga Allah membiarkan mereka berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa.” (HR. Ibnu Majah)

 

 

 

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *