Cintai Anak Istri Kita Karena Allah, Bukan Semata Karena Diri Mereka Sendiri

Share posting

Artikel Eksklusf

Oleh : H Derajat

H  Derajat bersama  Istri tercinta, Ibu Fitri Laela Derajat  dan keluarga tercinta (foto file istimewa-grahabignews.com)

Bismillahirrohmanirrohim

Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

Dalam Kitab Tadzkiratul Auliya terdapatlah sebuah kisah tentang hubungan seorang ayah dengan anaknya yang memerlukan sebuah renungan untuk kita.

Suatu hari Fuzail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya.

“Apakah ayah cinta kepadaku?” si anak bertanya kepada Fuzail.

“ya”, jawab Fuzail.

“Apakah ayah cinta kepada Allah?”

“Ya”.

“Berapa banyak hati yang ayah miliki?”

“Satu”, jawab Fuzail.

“Dapatkah ayah mencintai  dua hal dengan satu hati?” si anak meneruskan pertanyaannya.

Fuzail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut dimurkai Allah, Fuzail memukul-mukulkan kepalanya sendiri dan memohon ampunan kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian dicurahkannya kepada Allah semata-mata.

Kisah ini sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh Mbah Buyut kita :

Ora ånå wóng kang ingaranan uríp, kêjabanê kang mikír sartå trêsnå marang wóng kang ringkíh lan nandhang påpå cintråkå. Biså mèlu ngrasakakê kasusahanê sartå lårå lapanê wóng liyå. Kanthi pangråså kang mangkono mau atêgês biså nggadhúh kêkuwatan kang tanpå watês, pêrlu kanggo mitulungi sapådhå-pådhå kang kahananê luwíh nrênyúhakê katimbang dhiri pribadinê. “Pakarti mono darbèk kita dhêwê, nanging wóhê pakarti mau dadi kagunganê Kang Gawê Urip”, mangkono sabdanê sawijinê Pujånggå kalokå.

Yang artinya :

(Tiada orang disebut hidup, kecuali yang peduli serta belas kasih kepada sesama yang tak berdaya dan menderita. Dapat merasakan penderitaan serta kesengsaraan orang lain. Dengan dimilikinya rasa seperti itu, berarti mampu memelihara kekuatan yang tiada batasnya, diperlukan untuk menolong sesama yang keadaannya lebih mengenaskan ketimbang diri pribadinya. Perbuatan adalah milik kita sendiri, namun buah dari perbuatan kita menjadi milik Tuhan. Begitulah sabdanya salah satu Pujangga terkenal.)

Dari kisah maupun amanah Buyut kita ini dapat disimpulkan, bahwa kita harus mencintai sesama apalagi kepada keluarga kita hanya saja semua itu harus dilandaskan pada cinta Allah yang memancar pada cinta kita kepada semua makhlukNya. Jadilah pancaran Sinar Kasih Allah karena sesungguhnya engkaulah Nur Allah di alam semesta ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *