Berdustalah Kita Menyatakan Merdeka Tanpa Berprasangka Baik Pada Allah

Share posting

prasangka baik pada Allah adalah kunci kebahagiaan, kunci kesuksesan dan kunci pembuka rizki. Ingatlah hanya dengan mengingatNya hati menjadi tenang

Artikel Eksklusif

Oleh : H. Derajat Asysyathari


Ilustrasi-laduni.id

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm

Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Untuk merefresh kembali pembicaraanku dengan sahabatku Dr Supardi, Mas Syarief Nahdi dan Mas Budi Setiawan tentang takdir maka artikel ini aku persembahkan kepada sahabat-sahabatku tercinta semua..

Kepada sahabatku tersebut aku pernah menyebutkan sebuah hadist :

وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “كُلُّ شَيْءٍ بِقَضَاءٍ وَ قَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَ الْكَيْسِ”

Dan Nabi s.a.w. telah bersabda (KS-621): “Segala sesuatu tergantung kepada qadha’ dan taqdir [Allah], hingga yang lemah dan yang cerdas.”

وَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ بِاللهِ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ” رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.

Dan Nabi s.a.w. bersabda (KS-632): “Seorang hamba tidaklah beriman kepada Allah, hingga ia beriman kepada taqdir, taqdir baik dan taqdir buruk [semata dari Allah]”, hadits diriwayatkan oleh Imām at-Tirmidzī.

وَ أَمَّا حَدِيْثُ مُسْلِمٍ فِيْ دُعَاءِ الْاِفْتِتَاحِ وَ الشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ

Adapun hadits Imām Muslim, tentang doa Iftitāḥ (KS-643): “Dan keburukan, tidaklah berpulang kepada-Mu”.

Namun demikian apabila kita tidak mendapatkan apa yang kita kehendaki atau harapkan janganlah menganggap bahwa itu adalah hukuman dari Allah untuk kita tapi sebaliknya kita harus tetap mengimani  bahwa Allah mencintai kita dengan apapun yang ditakdirkanNya..

أَوْ لَا يُضَافُ إِلَى اللهِ تَأَدُّبًا

Atau “keburukan tidak boleh disandarkan kepada Allah”, karena menjaga tata krama.

لِأَنَّ اللَّائِقَ نِسْبَةُ الْخَيْرِ للهِ وَ الشَّرِّ لِلنَّفْسِ تَأَدُّبًا

Karena sesungguhnya hal yang layak itu adalah dihubungkan kebaikan itu kepada Allah, dan [dihubungkan] keburukan kepada diri pribadi, sebagai tata krama.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ – أَيْ إِيْجَادًا وَ خَلْقًا –

Allah ta‘ālā berfirman: “Apa saja ni‘mat yang kamu peroleh adalah dari Allah”, yakni dalam pewujudannya dan penciptaannya.

وَ مَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ} ((4) النساء:79) أَيْ كَسْبًا لَا خَلْقًا

“dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…..” yakni sebagai usaha diri pribadi, bukan penciptaan (an-Nisā’ [4]: 79).

Baiklah kita mulai pembahasan tentang takdir ini :

Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, prasangka adalah gerak pikir seseorang karena sebab sesuatu yang menjadi pemicu dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya.

Prasangka seseorang bisa berbentuk sebuah kebaikan atau keburukan. Hal itu sangat bergantung pada bagaimana seseorang itu menyelimuti dirinya dengan segala amal perbuatan. Jika baik selimutnya, baik pula prasangkanya. Jika buruk selimutnya, maka buruk pula prasangkanya. Selimut tersebut bermuara pada hati.

Di dalam Shahihain, dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”

Seseorang harus menyelimuti dirinya dengan sifat yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Ketika hamba semakin dekat pada Allah, maka Allah lebih dekat lagi padanya. Sehingga hal ini mengingatkan kita jangan sampai lalai dari mengingat atau berdzikir pada Allah.

Apapun yang Allah SWT tetapkan bagi si hamba, yakinkan bahwa ketetapan Allah SWT adalah yang terbaik. Janganlah menjatuhkan prasangka buruk kepada Allah SWT, jika ia mengalami suatu keadaan yang dirasanya sangat berat.

Teruslah mendekat kepada Allah SWT, niscaya Dia akan mendekat kepada anda. Sejengkal anda mendekati-Nya, sehasta Dia akan mendekati anda. Satu hasta anda mendekati-Nya, satu depa Dia akan mendekati anda. Berjalan anda mendekati-Nya, Dia akan berlari mendekati anda.

Dalam sebuah hadits Qudsiy, Allah SWT berfirman:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً »

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Hadits ini mengajarkan kita untuk berhusnudzh-dzhan (berprasangka baik) kepada Allah. Yaitu setiap hamba hendaklah berprasangka pada Allah bahwasanya Dia maha pengampun, begitu menyayangi hamba-Nya, maha menerima taubat, melipatgandakan ganjaran dan memberi pertolongan bagi orang beriman.

Berhusnudzh-dzhan kepada Allah di sini dibuktikan dengan seorang hamba punya rasa harap dan rajin memohon do’a pada Allah. Tidak ada yang patut dimintai pertolongan kecuali Dia. Tidak ada yang patut dijadikan sandaran kecuali Dia.

Hadits ini juga menunjukkan sifat kebersamaan Allah dengan hamba-Nya (ma’iyyatullah). Dan sifat kebersamaan yang disebutkan dalam hadits ini adalah sifat kebersamaan yang khusus. Kedekatan ini dapat menjadikan dorongan untuk berdzikir pada Allah baik dalam keadaan bersendirian maupun terang-terangan.

Allah akan menyebut-nyebut orang yang mengingat-Nya. Jika Allah menyebut-nyebut seperti ini, menunjukkan bahwa sebutan tersebut mengandung pujian dan kasih sayang Allah (rahmat Allah) pada hamba tersebut.

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah untuk semakin dekat dengan-Nya dan selalu mengingat-Nya di kala sendirian maupun di kumpulan orang banyak. Tetaplah tenang, lapangkan hati dan fokuskan pikiran hanya kepada Allah. Isilah hari-harimu dengan dengan tetap mengenang akan nikmat Allah SWT yang tak terhingga yang diberikan kepada hamba-Nya.

Dengan demikian, hati akan memancarkan kebaikan sehingga menjadi selimut. Husnudzh-dzhan kepada Allah SWT adalah kunci pembuka segala hal yang tertutup dan yang menjadi sebab munculnya kesulitan.

اللّٰهُمَّ اَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah, tolong kami agar selalu mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu dan merasakan kebaikan-kebaikan dari ibadah kepada-Mu”. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *