Pemuda dan Perannya Dalam Demokrasi Elektoral

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh: Nuni Nurbayani, M.Pd.I

Oleh: Nuni Nurbayani, M.Pd.I (foto istimewa-grahabignews.com)

Peringatan Sumpah Pemuda ke-94  tanggal 28 Oktober tahun 2022 menggema di Bumi Khatulistiwa. Seluruh lapisan masyarakat memperingatinya. Ada yang memperingati dengan menggelar upacara di halaman kantor, seperti yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri, dan tak terkecuali Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh Indonesia. Juga ada yang memperingatinya dengan memasang twibbon di halaman media sosial yang diimbuhi dengan kata-kata yang memantik semangat nasionalisme dan patriotisme.

Hal ini menunjukkan bahwa anak bangsa di negeri ini mengingat perjuangan para pahlawan yang telah memperjuangkan persatuan dan kesatuan bangsa hampir satu abad silam. Harapan besar tersemat  dalam tema peringatan hari sumpah pemuda tahun ini, “Bersatu Bangun Bangsa”. Dalam naskah sambutan hari sumpah pemuda yang dirilis pada tanggal 25 Oktober 2022, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Repubik Indonesia, Zainudin Amali menegaskan, tema ini memberikan pesan mendalam bahwa bersatu padu adalah harga mati yang harus dikuatkan untuk membangun ketangguhan, dengan ketangguhan dan persatuan menjadi kekuatan untuk melakukan pembangunan peradaban yang unggul sebagai eksistansi.

Harapan ini tentunya hadir setelah beberapa kali disintegrasi kerap menghampiri negeri yang memilik lebih dari 17.000 pulau ini. Apalagi di tahun politik potensi disintegrasi dan polarisasi masyarakat semakin terbuka lebar. Mengingat pertarungan untuk memenangkan kekuasaan melalui hajatan lima tahunan ini menyebabkan peserta Pemilu melakukan segala cara untuk dapat melenggang ke tampuk kekuasaan. Pun dengan menggoreng isu SARA (Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan) yang populer dengan politik identitas.

Pemuda yang secara popolasi memiliki jumlah yang sangat besar di tahun ini juga tidak lepas dari bidikan partai politik untuk di jadikan anggotanya. Ledakan jumlah usia produktif pada Pemilu mendatang, menggeser strategi peserta Pemilu dalam membidik target kampanye yang pada awalnya berdasarkan komunitas menjadi berdasarkan usia. Partai politik mulai merekrut kaum muda sebagai kandidat dengan harapan kandidat yang berusia muda akan menarik pemilih milenial. Bahkan beberapa pemuda beramai-ramai mendirikan Partai Politik yang diklaim sebagai partainya anak muda.

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 21 Januari 2021 menunjukkan, jumlah usia produktif (15-64 tahun) mendominasi. Angkanya mencapai 191,08 juta jiwa atau sekitar 70,72% dari jumlah total penduduk Indonesia sebanyak 270,20 juta jiwa. Artinya, bonus demografi di Indonesia yang sedianya dinikmati tahun 2030-2040, datang lebih awal. Survei juga mencatat jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) sebanyak 63,03 juta jiwa (23,33%) dan penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas) sebanyak 16,07 juta jiwa (9,78%).

Pada pemilu 2019 dipastikan setengah dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah pemilih muda (usia 17-40 tahun). Dari data yang dicatat KPU usia pemilih 21-30 sebanyak 42.843.792 orang, dan usia 31-40 tahun 43.407.156 orang. Dari jumlah tersebut kemudian ditambah pemilih usia 17-20 tahun sebanyak 17.501.278, maka prosentasi pemuda/pemilih muda yang terdiri dari generasi milenial (lahir tahun 1981-1999) dan  generasi Z (lahir  tahun 1997-2012) mencapai lebih dari 40%.

Jumlah pemilih muda yang mendominasi juga aktivisme mereka di media digital. Mengubah pola rekrutmen partai politik. Partai politik merekrut figur-figur muda agar dapat menggaet suara dari pemilih muda. Oleh karena itu penyelenggara perlu mengedukasi pemilih muda agar terhindar dari praktek politik yang negatif seperti politik uang dan lain sebagainya. Mereka juga bisa diaktivasi agar dapat menjadi bagian dari proses sosialisasi dan diseminasi terkait pemilu dan demokrasi melalui media digital mataupun langsung di masyarakat.

Jumlah pemilih muda yang besar merupakan asset bagi kita.  Menurut Wasisto Raharjo Jati (Indonesian Institute of Science/LIPI) dalam artikel yang ditulis Nuni (2022), ada beberapa karakter pemilih muda dalam gerakan politik. Pertama, Voluntarisme. Mereka terlibat dalam gerakan relawan. Misalnya ada relawan Jokowi, teman ahok, dan sahabat ridwan kamil. Beberapa dari mereka juga bergabung menjadi Relawan Demokrasi (Relasi) KPU, anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Kedua, Kolegialitas. Anak muda Indonesia berupaya membangun eksistensi dan representasi dengan membentuk kelompok-kelompok atau komunitas mereka sendiri, misalnya dalam kelompok bermusik atau komunitas olah raga. Mereka menunjukan independensi dan netralitasnya dalam skala kelompok. Mereka disatukan pada minat dan kesamaan. Kolegialitas ini bermakna sebagai perlawanan kultural terhadap system sosial yang telah mapan. Mereka bereksperimen dengan kolegialitas sebelum terjun ke arena politik.

Ketiga, Apolitis dan Apatis. Temuan riset Center for Strategic and International Studies dan Alvara mengemukakan, bahwa gejala apolitis itu tejadi karena perbedaan faktor sosial ekonomi dan sosial politik. Misalnya ketersedian lapangan kerja dan aksesibibilitas informasi yang berdampak pada pembentukan karakter apolitis yang didorong faktor pragmatis. Namun, selain itu, minimnya informasi, pendidikan politik dan kewarganegaraan di masa pandemic covid-19 menjadi tantangan tersendiri.

Satu lagi yang tidak dibahas oleh Wasisto Raharjo, generasi muda kita adalah generasi yang addict (tergantung/kecanduan) pada smartphone. Mereka bisa menghabiskan waktunya untuk berselancar di media sosial. Mereka aktif sebagai yutuber, selebgram, membuat konten tiktok, atau sebatas chatting dan penikmat konten saja. Tidak sedikit dari pengguna media sosial juga hadir menjadi komentator/netizen.

Sementara itu, Firmanzah (2012:113-114) dalam Sahran Raden,dkk. (2019:26) menyatakan bahwa, dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu; (1) orientasi “policy-probem-solving”, dan (2) orientasi “ideology”. Ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kontestan dari kacamata policy-probem-solving, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menwarkan program kerja atas solusi bagi permasalahan yang ada.

Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik atau kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kontestan yang arah kebijakannya tidak jelas akan cenderung tidak dipilih. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideology suatu partai atau kontestan, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis. Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kontestan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai atau kontestan tersebut. Firmanzah (2012: 120-126) memetakan tipologi ke dalam empat kolom tipologi pemilih, yaitu:

  1. Pemilih Rasional

Pemilih memiliki orientasi policy-probem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik dan konstestan dalam program kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ideology kepada suatu partai atau seorang kontestan. Faktor seperti paham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai politik atau seorang kontestan, daripada paham dan nilai partai atau kontestan.

  1. Pemilih Kritis

Pemilih jenis ini adalah perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak mudah “rasional voter” untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang akan dibuat. Pemilih jenis ini harus dimanage sebaik mungkin oleh sebuah partai politik atau seorang kontestan, pemilih memiliki keinginan atau kemampuan untuk terus menerus memperbaiki kinerja partai. Sementara kemungkinan kekecewaan yang bisa berakhir ke frustasi dan membuat partai politik tandingan juga besar.

  1. Pemilih Tradisional

Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis ini mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu krakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan konservatif dalam memegang nilai serta paham yang dianut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye. Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini.

  1. Pemilih Skeptis

Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memperdulikan program kerja atau platform dalam kebijakan sebuah partai politik.

Dengan jumlah pemuda yang besar dengan karakteristik yang dimiliki, ini menjadi tantangan dan peluang bagi KPU.  Bagaimana mengaktivasi pemuda agar dapat berkontribusi dalam demokrasi elektoral/pemilu serentak 2024 yang akan digelar pada bulan Februari dan November 2024. Pemuda bisa menjadi energi tambahan bagi KPU agar mereka dapat berpartisipasi dan berkontribusi untuk mensukseskan agenda besar hajatan rakyat, yang untuk pertama kalinya Pemilu dan Pemilihan digelar di tahun yang sama.

Catatan :

Penulis adalah anggota KPU Garut, Divisi Sosialisasi dan SDM

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *