Hakikat Berdoa

Share posting

“Berdoalah untuk menjaga kefakiranmu, kehinaanmu, kelemahanmu, dan ketakberdayaanmu di hadapan-Nya,”

Artikel Eksklusif

Oleh: Dr. Supardi, S.H. M.H

Kepala Kejaksaan Tinggi Riau

Als Rd Mahmud Sirnadirasa


Ilustrasi-Cahaya Islamku – WordPress.com

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm

Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Telah berkata Mursyid-mursyid kami terdahulu : “Jangan bergembira karena doa-doamu dikabulkan, engkau bisa terjebak dalam kelompok orang yang terhijab. Bergembiralah karena engkau ditakdirkan bisa bermunajat kepada-Nya,”

Allah telah berjanji akan mengabulkan doa sesuai dengan firman-Nya, “Mintalah kamu semua kepada-Ku, Aku akan mengijabah do’amu semua”. Dan Allah berfirman, “Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih.”

Selanjutnya mengenai hakikat berdoa telah aku dedahkan dalam link berikut :

Esensi Terdalam pada Aktifitas Berdoa

Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, berdoa adalah suatu prilaku hamba Allah SWT yang sadar akan kelemahan dan kekurangan dirinya di hadapan Tuhannya. Bagi mereka yang tidak sadar akan kelemahan dan kekurangan dirinya, maka mustahil untuk memanjatkan doa, atau setidaknya ia berdoa tapi tidak menyertakan hatinya, alias formalitas saja.

Sebenarnya, keadaan yang mendorong seseorang untuk berdoa, bukanlah semata-mata disebabkan oleh faktor keadaan hamba itu sendiri. Keadaan tersebut adakalanya merupakan kehendak Allah SWT yang “merekayasa” sebuah keadaan bagi hamba-Nya sehingga keadaan tersebut membuat si hamba terdorong untuk berlutut dan berdoa kepada-Nya. Artinya, Allah menghendaki hamba tersebut berada dalam kebaikan-Nya.

Dalam keadaan itu, pengabulan doa yang telah dipanjatkan oleh si hamba menjadi tidak begitu penting. Allah SWT dengan sifat Kasih-Nya akan menggiring hamba untuk berada pada keadaan terbaiknya, yakni duduk bersimpuh, berlutut dan berdoa kepada Tuhannya. Begitulah Cara Allah SWT memberikan sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya.

Dorongan keadaan yang membuat si hamba bergantung dan bersandar kepada Allah SWT lebih kuat dari sebelum ia berdoa adalah kondisi yang justru lebih penting dari pengabulan akan doa itu sendiri. “Pesan” ini sangatlah jarang ditangkap oleh hamba yang berdoa yang umumnya sangat membutuhkan cepatnya pengabulan.

Karena hilangnya kesadaran akan “pesan” Allah SWT tersebut, akhirnya si hamba merasa lelah dalam doanya hingga putus asa. Keadaan ini justru menimbulkan celah keterpurukan yang lebih dalam dan lebih berbahaya bagi si hamba, na’ûdzu billãhi min dzãlik (kita berlindung kepada Allah SWT dari keadaan itu).

Berkenaan dengan hal tersebut, Mursyid kami, Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah Assakandary memberikan sinyalemen untuk kita bisa memunculkan kewaspadaan lebih dini akan keadaan yang lebih berbahaya tadi. Beliau berkata dalam al-Hikamnya:

لاَ يَكُنْ تَأَخُّرُ أَمَدِ الْعَطَاءِ مَعَ الْإِلْحَاحِ فِى الدُّعَاءِ مُوْجِبًا لِيَأْسِكَ، فَهُوَ ضَمَنَ لَكَ الْإِجَابَةَ فِيْمَا يَخْتَرُهُ لَكَ لَا فِيْمَا تَخْتَارُ لِنَفْسِكَ وَفِى الْوَقْتِ الَّذِيْ يُرِيْدُ لَا فِي الْوَقْتِ الَّذِي تُرِيْدُ

“Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu pustus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.”

Allah SWT menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

“Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina”.”. (QS. Ghafir [40]: 60).

Allah SWT menjamin akan ijãbah setiap doa. Hanya saja, asumsi si hamba tidak memahami situasi dirinya sendiri ketika dinilai oleh Allah. Pada sisi ini, mengenal diri atau introspeksi diri menjadi sangat penting. Ungkapan yang sangat masyhur sering kita baca atau dengar; “Kenalilah dirimu, maka engkau akan kenal Tuhanmu”. Lalu apa kaitan doa dengan mengenal diri?

Dalam terminologi do’a, asumsi si hamba di dalam banyak kasus seringkali memunculkan istilah “terkabul” atau “tidak terkabul”. Kedua istilah tersebut sangatlah manusiawi dan wajar, jika ditinjau dalam perspektif antar-manusia. Padahal sebenarnya, dalam perspektif antara hamba dengan Tuhan, tidak ada istilah doa tidak terkabul, yang ada justru Allah menilai hamba-Nya. Ketika seorang hamba sadar akan nilai dirinya di hadapan Allah SWT, saat itu juga ia sadar akan nilai Allah SWT.

Karena itu, ketika ia menyadari akan nilai dirinya dan Tuhannya, maka sebuah doa yang pengabulannya ditunda, mungkin, lebih baik bagi seorang hamba daripada doa yang pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin sungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah SWT.

Coba simak sabda Rasulullah SAW yang mengajarkan umatnya untuk menaruh keyakinan kuat akan terkabulnya doa.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « اُدْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لَا يَسْتَجِيْبُ دُعَآءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ » [رواه الترمذي والحاكم/ السلسلة الصحيحة: ٥٩٤].

“Berdoalah kalian kepada Allah dan kalian harus berada pada keyakinan akan pengabulannya, ketahuilah bahwa Allah SWT tidak menjawab doa dari hati yang lalai dan tidak serius“. (HR. at-Tarmidzi dan Hakim dalam Assilsilah ash-Shahihah, No. 594)

Keadaan hamba yang berdoa justru harus memicu sebuah kesadaran selanjutnya, yakni Allah SWT menjadi lebih penting dari isi doa yang dipanjatkannya. Meng-itsbat-kan diri untuk hanya menjadikan Allah SWT sebagai tujuan hidup yang paling penting dari seluruh aktifitas kehidupan seorang hamba bukanlah perkara mudah. Dan Allah SWT memiliki kehendak yang terbaik buat hamba-Nya sehingga dijadikanlah sebuah keadaan yang membuat si hamba memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh.

Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikkannya, “Jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk dan mewujudkan segala keinginanmu.” Sehingga sang hamba pun tak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya.

Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut disebabkan oleh sifat buruk sang hamba yang terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yang lama sehingga mujãhadah dan riyãdhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa-doanya.

Orang-orang arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil-kecil sedikit dan mudah dihilangkan.

Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu lama dan perjuangan panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya.

Ketika tujuan utama seorang hamba adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu lama dan terakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu.

 

Ketika seseorang sudah sampai pada kesadaran esensial akan doa, maka ia lebih yakin dengan apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang dapat diusahakan oleh tangannya sendiri. Ketika doa yang kita panjatkan seolah tidak mendapat pengabulan dari Allah Ta’ala, di situ terdapat ruang pengetahuan yang kosong yang harus kita cari dan isi.

Doa disini bukan hanya terkait masalah duniawi, tetapi juga termasuk dalam hal spiritual. Misalkan, kita berdoa agar diterima taubatnya dan dibersihkan dari segala dosa.

Hakikatnya, setiap doa yang kita panjatkan adalah sebuah refleksi dari obyek yang telah Allah siapkan. Tidak serta merta kita menginginkan sesuatu di dalam hati, kecuali telah ada obyeknya. Tanpa objek yang telah Allah sediakan, pada dasarnya setiap orang tidak akan punya keinginan untuk berdoa. Seperti ketika menginginkan sebuah makanan, karena baunya sudah tercium dari jauh.

Hanya saja, manusia kerap terjebak oleh ketidak-sabaran dan waham (kesalahan berfikir) tentang dirinya sendiri. Seperti ketika seorang sahabat meminta kepada Rasulullah SAW agar berjodoh dengan seorang perempuan, maka jawaban Rasulullah SAW adalah: “Sekalipun dirinya dan seluruh malaikat memanjatkan doa maka jika itu bukan haknya dan tidak tertulis di Lauh Mahfudz pasti tidak akan terlaksana”. Keinginannya untuk memiliki jodoh adalah sebuah isyarat akan obyek yang telah Allah sediakan, tetapi keinginannya akan perempuan tertentu adalah karena syahwat dan wahamnya yang masih belum surut.

Doa membutuhkan pengenalan (ma’rifatullah) akan Hakikat Allah dan ma’rifatun nafs akan dirinya sendiri. Allah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi makhluknya, lebih dari seorang ibu kandung mengetahui kebutuhan bayinya.

Allah telah berjanji akan mengabulkan do’a. sesuai dengan firman-Nya, “Mintalah kamu semua kepada-Ku, maka  Aku akan mengijabah do’amu semua.” (QS. Ghafir [40]: 60)., dan Allah berfirman, “Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih.”

 

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ ۗ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS. Al-Qashash [28]: 68).

Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu yang tampak baginya sepintas baik, padahal ia tidak mengetahui bagaimana akibatnya. Karena itu, bila Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana memilihkan untuknya sesuatu, hendaknya rela dan menerima pilihan Allah Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Walaupun pada lahirnya pahit dan menyakitkan rasanya, namun itulah yang terbaik baginya. Karena itu, jika sudah berdoa namun belum juga terkabulkan keinginannya, janganlah terburu-buru putus asa. Firman Allah:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”  (QS. al-Baqarah [2]: 216).

Syaikh Imam Abul Hasan Asy-Syadzili QS ketika mengartikan ayat ini:

قَالَ قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَٱسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيلَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

”Sungguh telah diterima do’amu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas salãm) yaitu tentang kebinasaan Fir’aun dan tentaranya, maka hendaklah kamu berdua tetap istiqamah (sabar dalam melanjutkan perjuangan dan terus berdo’a), dan jangan mengikuti jejak orang-orang yang tidak mengerti (akan kekuasaan dan kebijaksanaan Allah).” (QS. Yunus [10]: 89).

Maka terlaksananya kebinasaan Fir’aun yang berarti setelah diterima do’a Nabi Musa dan Nabi Harun alaihimas salãm selama/sesudah 40 tahun lamanya.

Dari Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Syihab dari ‘Ubaid Maula bin Azhar, dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا ‏ ‏عَبْدُ اللهِ بْنِ يُوْسُفَ ‏أَخْبَرَنَا ‏مَالِكٌ ‏عَنِ ‏ابْنِ شِهَابٍ ‏عَنْ ‏‏أَبِيْ عُبَيْد ‏ ‏مَوْلَى ‏ابْنِ أَزْهَر عَنْ ‏‏أَبِيْ هُرَيْرَةَ ‏‏أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ‏ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏قَالَ «‏ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يُعَجِّلْ يَقُوْلُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي » . (رواه البخاري في صحيحه)

“Pasti akan dikabulkan do’amu selama tidak terburu-buru serta mengatakan, aku telah berdo’a dan tidak diterima.” (HR. Bukhari dalam Kitab Shahihnya).

Anas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada orang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya, atau dihindarkan dari padanya bahaya, atau diampuni sebagian dosanya, selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa atau untuk memutus silatur rahim.”

Syaikh Abu Abbas al-Mursi QS ketika ia sakit, datang seseorang membesuknya dan berkata: “Semoga Allah menyembuhkanmu (‘Afãkallãhu). Abu Abbas terdiam dan tidak menjawab. Kemudian orang itu berkata lagi: Allãhu yu’ãfîka. Maka Abu Abbas menjawab: Apakah kamu mengira aku tidak memohon kesehatan kepada Allah? Sungguh aku telah memohon kesehatan dan penderitaanku ini termasuk kesehatan, ketahuilah, Rasulullah SAW memohon kesehatan dan ia berkata: “Selalu bekas makanan khaibar itu terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq memohon kesehatan dan meninggal terkena racun. Umar bin Khattab memohon kesehatan dan meninggal dalam keadaan terbunuh. Utsman bin Affan memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Ali bin Abi Thalib memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Maka bila engkau memohon kesehatan kepada Allah, mohonlah menurut apa yang telah ditentukan oleh Allah untukmu, maka sebaik-baik seorang hamba ialah yang menyerahkan segala sesuatunya menurut kehendak Tuhannya, dan meyakini bahwa apa yang diberikan Tuhan kepadanya, itulah yang terbaik walaupun tidak sejalan dengan nafsu syahwatnya.

Dan syarat utama untuk diterimanya doa ialah keadaan terpaksa/kesulitan. Allah SWT berfirman:

اَمَّنْ يُّجِيْبُ الْمُضْطَرَّ اِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْۤءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاۤءَ الْاَرْضِۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗقَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ

“Bukankah Dia [Allah] yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya…” (QS. an-Naml [27]: 62).

Keadaan terpaksa atau kesulitan itu, apabila merasa tidak ada sesuatu yang di harapkan selain semata-mata karunia Allah SWT, tidak ada yang dapat membantu lagi, baik dari luar berupa orang dan benda atau dari dalam diri sendiri.

Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita untuk bisa selalu berdoa kepada-Nya. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn

اَللّٰهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Allãhumma a’innî ‘alã dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibãdatik

“Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu”. (HR. Abu Daud dan Ahmad, Shahih)

Rasulullah SAW perintahkan untuk mendawamkan doa ini setiap selesai shalat lima waktu.

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *