Sifat Keibuan Lebih Dekat Dengan Kewalian

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat


Ilustrasi google search-m.fimela.com

Bismillahirrohmanirrohim

Cerita ini dikisahkan oleh almarhum Syaikh Zakariya bin ‘Umar Bagharib Singapore (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), yang adalah putra dari Syaikh ‘Umar bin Abdullah Bagharib (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), seorang mursyid Tariqah Qadiriyah di Singapore.

Syaikh Zakariya Bagharib pernah bercerita bahwa suatu saat di masa hidup Ghawtsul A’zham Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), sang Sulthanul Awliya’ tengah berada di lingkungan Masjidil Haram. Saat berada di sana, beliau (Syaikh ‘Abdul Qadir) merasa takjub ketika melihat seorang wanita yang tengah melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah dengan hanya satu kakinya. Melalui firasat beliau, fahamlah Syaikh ‘Abdul Qadir bahwa wanita tersebut bukanlah wanita biasa, melainkan pastilah seorang Wali. Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailaniy pun mencoba mencari tahu level atau maqam atau kedudukan sang Wanita Waliyyah tersebut. Beliau pun mencoba ke level 1 (Wali ‘rendahan’), tak dijumpainya ruuhaniyyah wanita itu. Ke level 2, tak ada. Level 3, 4, … tak ada pula. Hingga sampai mendekati maqam Ghawtsiyyah beliau sendiri, tak juga ada. Akhirnya, menyerah juga, dan memohonlah beliau ke Hadirat Allah SWT yang kira-kira secara bebas dapat dibahasakan sebagai berikut, “Yaa Allah, siapakah wanita ini yang tak dapat kulihat maqam wilayahnya?”

“Yaa, ‘Abdal Qadir, ikutilah wanita itu bila engkau ingin mengetahui maqam wilayahnya”

Sang Ghawts pun membuntuti wanita tersebut, hingga akhirnya beliau mengetahui bahwa ternyata, wanita tersebut sebenarnya tidaklah buntung kaki yang satu. Yang terjadi adalah, wanita tersebut sebenarnya tengah menyusui anaknya. Anaknya yang kekenyangan tertidur di pangkuan kakinya. Dan dengan karamahnya sang Waliyyah ini ‘memutus’ sementara satu kaki agar anaknya tak terbangun, sementara ia pun menuju Masjidil Haram untuk berthawaf dengan hanya satu kaki. Dan ketika kembali ke anaknya yang masih terlelap dalam tidur, ia pun menyambungkan kembali kaki tadi.

Subhanallah. Itulah wilayah seorang wanita yang dicapai melalui kasih sayang keibuannya. Mawlana Syaikh Muhammad Nazim ‘Adil Al-Haqqani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih) pun sering menyebutkan betapa dekat seorang wanita dengan darajah Wali… lewat keibuan (motherhood). Sayangnya, banyak wanita di zaman ini, termasuk dari kalangan Muslimah meninggalkan keibuan/motherhood dan menganggapnya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.

Dan sungguh ternyata kita tidak pernah tahu berapa dan betapa banyak hamba-hamba Allah (rijaalallah wa ‘ibaadallah) yang Ia SWT sembunyikan dalam kubah wilayah-Nya.

Berikut ku tutup dengan pendapat seorang Imam tentang seorang Ibu :

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya Al-Kabaair,

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari pada dirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (QS. Al-Hajj : 10)

(Al-Kabaair hal. 53-54, Maktabatush Shoffa, Dar Albaian)

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *