Karakteristik Alaqah Pada Insan

Share posting

memahami makna lain dari alaqah sebagai jalan menuju Allah. Sangat benar menyebut nama Allah membuahkan hati menjadi tenang

Artikel Eksklusif

Oleh: H. Derajat


Ilustrasi-hipwee.co

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm

Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang terkasih, pada artikel yang lalu kita telah memposting sebuah artikel yang berjudul “Ilmu Laduniy dalam Surat Ar-Rahman”. Artikel ini sesungguhnya melanjutkan pembicaraan dengan sahabatku Dr Supardi beberapa hari yang lalu.

Untuk mendalami lebih jauh pembahasan artikel tersebut, mari kita kaji lebih mendalam lagi seputar penciptaan insan dalam kaitannya dengan makna “takhallaqû bi akhlãqillãh” (berakhlaqlah kalian dengan Akhlaq Allah).

Dalam Kitab Ihyã ‘Ulûmiddîn Bab Riyãdhatu an-Nafsi, Imam Al-Ghazaliy menyebutkan sebuah hadits:

حُسْنُ الْخُلُقِ خُلُقُ اللهِ الْأَعْظَمِ ۞

Husnul khuluqi khuluqu Allãhi al-A’dzhami

“Sebaik-baik Akhlaq adalah Akhlaq Allah yang Paling Agung”

Mursyid kami yang mulia Hasan al-Bashri berkata:

قَالَ الْحَسَنُ الْبَصَرِى: أَلَا إِنَّ الْمَعْرُوْفَ خَلْقٌ مِنْ أَخْلَاقِ اللَّهِ، وَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ ۞“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kebaikan itu adalah salah satu Khalqun dari Akhlaq Allah, dan atasnya ada imbalan-Nya”.

Insan, sebagaimana disebutkan dalam surat ar-Rahman dan surat al-‘Alaq, adalah sosok yang diciptakan dan memiliki karakteristik sebagaimana ‘alaqah atau ‘alaq di dalam rahim.

Dalam kamus al-Ma’aniy disebutkan bahwa ‘alaqah atau ‘alaq diterjemahkan sebagai lintah, pacet, berguntai, bergantung, atau segumpal darah. Fokus perhatian kita pada terjemahan kata tersebut bukan pada jenis obyeknya, tapi karakteristiknya yang bermakna “menempel” atau “menggantung”.

Karakteristik ‘alaqah yang menempel seperti lintah, pacet atau segumpal darah di dinding rahim adalah cerminan dari kehidupan ‘alaqah itu sendiri. Ia tumbuh dan hidup serta mendapatkan “makanan” dari sesuatu yang ditempelinya.

Karakteristik ‘alaqah itulah yang menjadi fokus kajian kita kali ini dalam memaknakan sosok insan yang mendapatkan pengajaran langsung dari Allah SWT melalui proses yang disebut akhlaq. Sosok insan inilah yang disebut sebagai “tempat” atau “gudang” (Kanzun Makhfiyyun)  di mana rahasia-rahasia Allah tersimpan dan menjadi “makanan bergizi” bagi Sang Insan.

Coba kita telaah kembali Surat ar-Rahman dan al-‘Alaq di bawah ini:

اَلرَّحْمٰنُۙ ۞ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ ۞ خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ ۞ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ۞

“(Allah) Yang Maha Pengasih (1), Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (2), Dia menciptakan manusia (3), mengajarnya pandai berbicara (4)”. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 1-4)

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ۞ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ ۞ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ ۞ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ ۞ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ ۞ كَلَّآ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَيَطْغٰىٓ ۙ ۞ اَنْ رَّاٰهُ اسْتَغْنٰىۗ ۞ اِنَّ اِلٰى رَبِّكَ الرُّجْعٰىۗ ۞

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! (1), Dia menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia (3), yang mengajar (manusia) dengan pena (4), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5), Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas (6), Ketika melihat dirinya serba berkecukupan (7), Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(-mu) (8)”. (Q.S. Al-‘Alaq [96]: 1-8)

Rekonstruksi Penciptaan Insan

Saudaraku, dalam kajian ini, penciptaan manusia di alam rahim adalah sebuah prototype untuk merekonstruksi insan ketika manusia secara jasadiyah telah menjadi mukallaf (subyek hukum penuh) sehingga dibebankan kepadanya perintah dan larangan yang menjadi batasan (hudûd) bagi prilakunya.

Sosok insan bagi manusia yang sudah mukallaf -tanda sudah mukallaf adalah ‘aqil baligh– harus direkonstruksi melalui akhlaq yang didapatkannya dari karakter seperti ‘alaqah yang “menempel” atau “bergantung” kepada Allah SWT.

Ar-Rahman “mewadahi” proses itu dengan memberikan asupan-asupan “makanan bergizi” secara ruhani sehingga secara berangsur-angsur kedirian insan, barangkali bisa kita istilahkan dengan “sosok ideologis”, terbangun dan menjadi “tempat”, “gudang” atau “Kanzun Makhfiyyun” (rahasia perbendaharaan Allah SWT).

Rahasia-rahasia Allah SWT berada dalam diri insan, dan insan adalah “gudang” di mana rahasia-rahasia itu tersimpan. Allah SWT perintahkan para mukallaf untuk menggali rahasia-rahasia-Nya dan mengenal-Nya.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsiy, Allah SWT berfirman:

الْإِنْسَانُ سِرِّيْ وَأَنَا سِرُّهُ ۞

“Insan adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya”

كُنْتُ كَنْزاً مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ لِكَيْ أُعْرَفَ ۞

“Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku suka dikenali, maka Aku ciptakan makhluq supaya Aku dikenali”

Secara indirect, kata ar-Rahman dalam Surat ar-Rahman ayat ketiga disebutkan telah menciptakan insan. Disebut indirect karena penciptaan itu didahului dengan proses-proses akhlaqiyyah dengan cara merekonstruksinya dari pengajaran al-Qur’an sebagaimana disebut pada ayat kedua Surat ar-Rahman.

Dalam Surat al-‘Alaq juga demikian, dikatakan bahwa proses penciptaan insan itu melalui karakteristik ‘alaq (yang menempel atau bergantung). Dari karakteristik ‘alaq itu barulah Al-Qur’an sebagai “asupan” ruhani bisa dicerap. Surat al-‘Alaq menggiring manusia mukallaf untuk menyadari dengan observasi yang cermat bahwa perintah “membaca” pada kata “iqra” harus melalui Nama Tuhan yang Menciptakan.

Nama Tuhan yang Menciptakan seperti tersebut dalam Surat al-‘Alaq ayat pertama mengandung dua penciptaan; “al-khalqu” (jasadiyah) dan “al-Khuluqu” (insaniyah). Keduanya harus dibaca atau diobservasi dengan Nama Tuhan (ism Rabb). Jika tidak melalui Nama-Nya, seseorang tak akan pernah bisa membaca sesuai maksud ayat pertama Surat al-‘Alaq.

“Iqra” bermakna bacalah, telaahlah, telitilah, renungkanlah atau observasilah melalui Nama Tuhanmu, melalui karakter insaniyahmu, melalui jiwamu, melalui hatimu atau melalui akhlaqmu. Dalam ilustrasi lain, seolah-olah Tuhan ingin mengatakan bahwa “bacalah melalui-Ku, engkau akan melihat dirimu yang menempel dan bergantung kepada-Ku”.

Ketika metode membaca itu sudah dilakukan dengan benar, saat bersamaan, si insan terus bergerak ke arah penciptaan dirinya. Itulah yang dikatakan “merekonstruksi penciptaan insan” dari bacaan yang menyertakan Nama Tuhan.

Makna ‘merekonstruksi’ dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penciptaan insan tersebut merujuk pada proses penjadian manusia di alam rahim. Karakteristik ‘alaqah di alam rahim menjadi prototype terciptanya insan di alam dunia. Cara hidup dan berkembangnya ‘alaqah sama persis dengan cara hidup dan berkembangnya insan. Ia hidup, tumbuh, berkembang dan mencerap “makanan” dari karakteristiknya yang ‘menempel’ dan ‘bergantung’.

Pengajaran al-Qur’an adalah sebuah proses rekonstruksi untuk membangun insan. Jika dalam proses tersebut al-Qur’an tidak dicerap secara benar untuk bisa menjadi “makanan” bagi si penerima perintah, maka proses pembentukan insan akan gagal, alias bantut (rekonstruksinya tidak tuntas).

Keterkaitan antara Al-Qur’an, Akhlaq dan Insan

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لَوَدِدْتُ أَنَّ تَبَارَكَ فِي صَدْرِ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْ أُمَّتِي »

Dari Ibnu ‘Abbas RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh aku menginginkan bahwa sesungguhnya (Allah) Tabaraka (wa Ta’ala) di dada setiap insan dari umatku“.

Pengajaran al-Qur’an dalam realitasnya adalah sebuah proses pembentukan akhlaq. Kata “akhlâq” adalah bentuk jamak yang dalam literatur bahasa Arab diambil dari kata tunggal “khalqun” (ciptaan).

Dalam Durarus Saniyyah dikatakan:

معنى الأخلاق لغةً : الأخلاق جمع خلْق والخُلُق -بضمِّ اللام وسكونها- هو الدِّين والطبع والسجية والمروءة، وحقيقته أن صورة الإنسان الباطنة وهي نفسه وأوصافها ومعانيها المختصة بها بمنزلة الخَلْق لصورته الظاهرة وأوصافها ومعانيها، وقال الرَّاغب: (والخَلْقُ والخُلْقُ في الأصل واحد… لكن خص الخَلْق بالهيئات والأشكال والصور المدركة بالبصر، وخص الخُلْق بالقوى والسجايا المدركة بالبصيرة) .

Makna “al-akhlaq” secara bahasa adalah jamak dari kata “khalqun” dan “khuluqun” -dengan huruf lam yang didhammahkan dan disukunkan, ia bermakna ad-din (agama), ath-thab’u (tabi’at/kararakter), as-sajiyyah (watak), al-muruah (kepribadian).

“Khuluqun” pada hakekatnya, adalah potret insan secara bathiniyah yang merujuk kepada jiwanya dengan seluruh sifatnya, atau yang mencakup seluruh makna yang dikhususkan kepadanya dalam hal kedudukannya sebagai makhluq dengan segala deskripsi yang nyata beserta sifat-sifatnya dan definisinya.

Raghib berkata bahwa “al-khalqu” (ciptaan) dan “al-khuluqu” (akhlaq) pada asalnya adalah satu, akan tetapi “al-khalqu” dikhususkan kepada struktur-struktur, rupa dan bentuk, atau sosok yang kasat mata. Sedangkan “al-khuluqu” dikhususkan pada kekuatan, perwatakan atau karakter-karakter yang kasat mata-hati (hanya dapat dijangkau dengan kecerdasan spiritual).

Jadi, al-Khalqu adalah realitas ciptaan jasadiyah dan al-Khuluqu adalah realitas ciptaan insaniyah. Al-Khalqu adalah sosok material, sedangkan al-Khuluqu adalah sosok spiritual.

Allah SWT berfirman:

نۤ ۚوَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَۙ ۞ مَآ اَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُوْنٍ ۞ وَاِنَّ لَكَ لَاَجْرًا غَيْرَ مَمْنُوْنٍۚ ۞ وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ ۞

“Nūn. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan (1), berkat karunia Tuhanmu engkau (Nabi Muhammad) bukanlah orang gila (2), Sesungguhnya bagi engkaulah pahala yang tidak putus-putus (3), Sesungguhnya engkau benar-benar berada pada budi pekerti yang agung (4)”. (Q.S. Al-Qalam [68]: 1-4)

Perhatikanlah ayat 4 Surat Al-Qalam tersebut, bahwa engkau (Nabi Muhammad SAW) benar-benar berada pada budi pekerti yang agung (al-Khuluq). Sosok insaniyah dari sebutan al-Khuluq adalah haqiqah al-Muhammadiyyah (hakikat kesejatian Muhammad). Dalam literatur sufistik, sosok insaniyah itu disebut juga dengan “Ruh Idhafi” (Ruh Penyifatan).

Al-Qur’an, akhlaq (al-khuluq) dan insan adalah sosok yang memberikan nama satu sama lain. Perwujudan insan merupakan manisfestasi penciptaan dan pelurusan. Pelurusan -antara hati, akal dan seluruh anggota tubuh / langit dan bumi- adalah trigger (pemicu) adanya penciptaan insan. Jadi, sosok insan adalah sosok murni di mana al-Qur’an yang bersifat qadim itu menurunkan titah berupa perintah dan larangan.

Proses tersebut sekaligus juga menjelaskan bahwa al-Qur’an itu bersifat qadim (terdahulu), bukan huduts (baharu). Sifat qadim dari al-Qur’an bukan semata-mata merujuk pada kauniyyah adzh-dzhahiriyyah (alam ciptaan materialistik)-nya, tapi justru pada haqiqah ar-ruhiyyah (haqiqat ruh). Maka menjadi sangat materialistik jika hanya melihat akhlaq itu hanyalah terdiri dari ajaran-ajaran moral dan sopan santun. Meski hal itu tak bisa dipisahkan dari pengertian implikasi materil dari kemurnian spiritual.

Menyikapi ayat tersebut, Siti Aisyah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir (anak paman dari Anas bin Malik RA:

يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ، أخْبِرِيْنِيْ بِخُلُقِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَيْ كَيْفَ كَانَ خُلُقُهُ؟ قَالَتْ: « كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ »

“Wahai Ummal Mu’minin, kabarkanlah kepadaku tentang akhlaq Rasulullah SAW, atau “bagaimana akhlaq beliau?” Siti Aisyah menjawab: “Bahwa akhlaq beliau adalah al-Qur’an”.

Lalu Siti Aisyah melanjutkan:

… فَكَأنَّكَ تَرَى الْقُرْآنَ إِنْسَانًا فِي شَخْصِ النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ، ثُمَّ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: ” أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ، قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ « وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ ۞ » [القلم: 4] “، وَهَذَا إِقْرَارٌ لِمَا تقدَّمَ مِنْ بَيَانِ خُلُقِهِ .

“… Maka seakan-akan engkau melihat al-Qur’an itu adalah sesosok insan di dalam diri Nabi yang Mulia. Bukankah engkau membaca al-Qur’an, Firman Allah Azza wa Jalla yang berbunyi: “wa innaka la’alã khuluqin ‘adzhîmin” [al-Qalam: 4] (bahwa engkau (Nabi Muhammad SAW) berada pada budi pekerti yang agung). Dan ini adalah sebuah penegasan dari yang sudah dijelaskan tentang akhlaqnya”.

Pengajaran Al-Qur’an dengan Qalam

Kembali pada Surat al-‘Alaq ayat 3, disebutkan pada ayat tersebut sebuah perintah “membaca” untuk kali yang kedua, yakni perintah “membaca lanjutan” setelah bacaan yang pertama dilakukan dengan Nama Tuhan. Apa yang terjadi?

Pada perintah “membaca” yang kedua ini Allah SWT semakin memberikan “peluang” bagi insan akan “penampakan” Wajah-Nya yang Maha Mulia. Track yang sudah benar dalam melaksanakan perintah “membaca” akan semakin diberikan kemantapannya. “Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia (3)”. (Q.S. Al-‘Alaq [96]).

Wajah Tuhan Yang Maha Mulia akan semakin ditunjukkan. Dalam literatur sufistik, Penampakan Wajah Tuhan ini disebut dengan Tajalli. Dalam keadaan ini, si insan berada pada kepasrahan total seperti menempelnya ‘alaqah pada dinding rahim. Ia dibimbing dan diajarkan, diasuh dan dijaga, dijamin makanan dan pertumbuhannya, ditempatkan pada tempat yang paling baik, paling indah dan paling nyaman.

Insan Diajarkan dengan perantaraan pena (qalam). “Yang mengajar (manusia) dengan pena (4), Dia mengajarkan insan apa yang tidak diketahuinya (5)”. (Q.S. Al-‘Alaq [96]).

Pena adalah personifikasi “lurusnya unsur-unsur bumi dengan langit”. Penglihatan insan terhadap alam kauniyyat yang bersifat materialistik telah melampaui batas-batas alam. Penglihatan itu bukan sekedar nadzhar (melihat dengan kelopak mata lahiriyah), tapi sebuah penglihatan dengan ‘ainul bashirah (melihat dengan ‘kelopak’ Mata Tuhan). Ia diteteskan ilmu dari proses Tajalli Tuhan di dalam dirinya. Insan itulah “terminalnya”.

Melalui pena, insan diajarkan akan segala hal yang dulunya tidak diketahuinya. Insan dibimbing dengan pengetahuan yang bisa melampaui segala makhluq yang hanya mengandalkan akal basyariyahnya saja. Kepada insan dibeberkan rahasia-rahasia Allah SWT yang hanya diketahui oleh mereka yang terpilih. Insan adalah sosok kebebasan jiwa tak bertepi yang dapat menjangkau segala hal yang tak dapat dijangkau oleh sisi basyariyah manusia pada umumnya.

Dalam Hadits Qudsiy, Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT berfirman,

بَنَيْتُ فِى جَوْفِ ابْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرًا وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادًا وَفِى الْفُؤَادِ شَغَافًا وَفِى الشَّغَافِ لُبًّا وَفِى لُبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا ۞ (الحديث القدسى)

“Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai, dan di dalam mahligai itu ada dada, dan di dalam dada itu ada hati (qalbu), dan di dalam hati (qalbu) itu ada mata hati (fuad), dan di dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf), dan di balik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (lubban), dan di dalam nur/cahaya (lubban) itu ada rahasia (sirr), dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku (Allah)”. (Hadis Qudsi)

Secara bertahap, insan dibimbing untuk membuka khazanah tersembunyi yang berlapis-lapis. Insan diperkenalkan oleh-Nya tentang-Nya dan tentang seluruh struktur Kerajaan Alam Semesta di mana Dia sebagai Malik al-Mulk-nya. Dia Yang Maha Meliputi (al-Muhîth) akan dapat disaksikan oleh ‘ainul bashirah di mana matanya adalah manifestasi Tajalli Bashar-Nya.

Betapapun sosok insan itu adalah sebuah “buaian” nan agung dan suci, namun sayang, seribu kali sayang, Allah SWT telah memberikan sebuah gambaran keadaan bagi kebanyakan manusia. Ketika insan diciptakan Tuhan sebagai “batas” (Hudûd) atau “tempat” untuk mendapatkan asupan “energi ilahiyah”, manusia malah melampaui batasannya itu. Manusia telah lupa dan keluar dari batasannya, karena menganggap dirinya sudah cukup “kenyang”. Merasa sudah kaya dengan sendirinya, merasa sudah mampu dengan sendirinya, merasa sudah banyak ilmu yang didapat dengan belajar sendiri. Manusia telah menjadi sombong dan ingkar. Sang Insan yang menjadi “Hudûd” telah ditinggalkan dan dilupakan.

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas (6), Ketika melihat dirinya serba berkecukupan (7), Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(-mu) (8)”. (Q.S. Al-‘Alaq [96]).

Merasa sudah berkecukupan, akhirnya manusia sering lupa akan tempatnya mengambil energi. Ia keluar dari tempat itu dan melampaui batasannya. Ia lupa bahwa kepasrahan total adalah sebuah metode untuk berada pada tempat di mana energi itu berada. Kepasrahan total yang memunculkan karakter “menempel” pada Allah SWT telah hilang dari dadanya. Ketakutan dan kekhawatiran, kehampaan dan kesepian, kegamangan dan kepenatan, kesombongan dan keangkuhan telah menghiasi hari-harinya. Ia lupa “jalan pulang”. Ia kehilangan “buaian” di mana ia disusui dan diasuh, dibimbing dan dididik. Ia lupa bagaimana memaknakan metodologi kembali: “Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(-mu)“.

Saudaraku terkasih, sebagai penutup kami nyatakan sebuah kebenaran sejati, bahwa bagaimana sosok insan itu menjadi sebuah “terminal” di mana terdapat arus “listrik” yang mengalirkan “energi akhlaq” bagi seluruh anggota tubuh, sehingga kedirian manusia selalu berada dalam kebaikan akhlaq.

Perumpamaan tersebut adalah sebuah penjelasan dari fakta hadits Rasulullah SAW di bawah ini:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ فِيْهِ الْإِنْسَانُ إِلَّا اسْتَقْبَلَ فِيْهِ الرُّوْحُ الْجَسَدَ فَيَقُوْلُ يَا جَسَدِيْ أَسْأَلُكَ بِوَجْهِ الَّذِيْ لَا يُرَدُّ سَائِلُهُ أَنْ لَا تَعْمَلَ الْيَوْمَ عَمَلًا يُوْرِدُنِيْ جَهَنَّمَ » (ابن حبان)

Dari Anas bin Malik RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiadalah hari di mana seorang insan kecuali di dalam dirinya ruh menghadap jasad lalu berkata “wahai jasadku, aku memintamu melalui wajah yang tak akan ditolak permintaannya, janganlah engkau melakukan suatu perbuatan pada hari ini yang akan membawaku ke neraka jahannam”. (HR. Ibnu Hibban)

Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat, barakat dan keselamatan kepada kita agar selalu mendapatkan kekuatan untuk selalu berada pada kepasrahan dan kebergantungan total kepada-Nya, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

اللّٰهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ، اللّٰهُمَّ أحْيِنِيْ مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِيْ وَتَوَفَّنِيْ إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِيْ

Allãhumma a’innã ‘alã dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibãdatika, Allãhumma ahyinî mã kãnatil hayãtu khairan lî wa tawaffanî idzã kãnatil wafãtu khairan lî

“Wahai Allah, tolong kami untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan merasakan kebaikan dari ibadah kepada-Mu. Wahai Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku”. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

Source :

https://pasulukanlokagandasasmita.com/karakteristik-alaqah-pada-insan/

Semoga bermanfaat…

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *