Nabi Adam Memakan Buah Khuldi

Share posting

sumpah palsu setan membawa nama Allah untuk menipu

pasti banyak yang gak tahu bahwa Nabi Adam memakan buah khuldi karena mengagungkan nama Allah…lho koq bisa ?!!!

Artikel Eksklusif

Oleh : Dr. Supardi, S.H., M.H

Als. Rd Mahmud Sirnadirasa


Ilustrasi-Tafsir Al Quran

Semoga Allah memberkahi kehidupan mu wahai sahabatku….

Mungkin kita pada umumnya hanya mempunyai anggapan bahwa Nabi Adam as bersalah karena melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah khuldi, ternyata anggapan itu keliru atau kurang tepat karena sesungguhnya Nabi Adam memakan buah Khuldi disebabkan mengagungkan Nama Allah, koq bisa begitu ? Mari kita simak ceramah Gus Baha berikut ini :

“Nabi Adam itu melakukan maksiat, tapi maksiat yang muaddzimin (maksiat karena mengagungkan Allah, karena saking mengagungkan Allah), Nabi Adam tidak tahu kalau ada makhluk yang membohonginya atas nama Allah,” tutur Gus Baha.

Gus Baha bercerita kisah Nabi Adam ini saat menafsirkan surat al-Araf ayat 21,

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ

“Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua.”

Nabi Adam, menurut Gus Baha dengan mengutip tafsir at-Thabari, awalnya sama sekali tidak pernah menggubris rayuan setan untuk makan buah khuldi. Setan merayu Nabi Adam hingga berkali-kali namun Nabi Adam tidak goyah sedikitpun.

Setelah merasa bahwa rayuannya tidak berhasil, akhirnya setan menggunakan cara lain yang dirasa lebih ampuh. Setan akhirnya membawa nama Allah untuk merayu Nabi Adam.

“Nabi adam itu dirayu setan seperti apapun tidak pernah tertarik. Tapi akhirnya setan bilang, ‘Wallahi bahwa saya menyuruh kamu memakan buah khuldi itu. Wallahi Allah sekarang Allah sudah merevisi dan menghalalkan itu’,” ujar Gus Baha.

Karena membawa nama Allah dengan sumpahnya, Nabi Adam akhirnya mau memakan buah khuldi itu. Lagi-lagi Nabi Adam tidak pernah membayangkan ada makhluk yang berani berbohong atas nama Allah SWT. Pada saat itu Nabi Adam tidak pernah membayangkan ada makhluk lain (setan) yang berani bersumpah atas nama Allah padahal dia berdusta.

Setelah Nabi Adam memakan buah khuldi tersebut, Allah SWT kemudian memanggilnya dan menanyainya perihal keberaniannya melanggar larangan Allah tersebut. Menurut Gus Baha, mengutip tafsir at-Thabari, Nabi Adam kemudian menjawab pertanyaan Allah SWT dengan kata-kata berikut, “wa izzatika, fa wallahi ma adzunnu anna ahadan yakhlifu bika kadziban.”

وعزتك، فوالله ما أظن أن أحدا يخلف بك كاذبا

“Demi kehormatanmu ya Allah, demi Allah, saya tidak pernah mengira ada hambamu kemudian mencatut nama Engkau kemudian dia dusta.”

Gus Baha memberikan analogi dengan hal-hal keseharian kita. Misalnya, Gus Baha mencontohkan, jika ada orang berbohong tapi bawa-bawa nama guru kita, kita tidak akan lagi mengkonfirmasi dan cenderung langsung percaya.

Apabila kita analogikan betapa banyak orang saat ini yang bersumpah atas nama Allah bahkan Kitab Suci ditaruh di atas kepalanya namun objek jabatan atau masalah apapun yang disumpah semuanya penuh kepalsuan dan tipu daya. Kejadian Nabi Adam dahulu pun masih berlanjut hingga kini.

Setelah Nabi Adam ditegur karena kesalahannya maka beliau pun berdo’a :

رَبَّنَا ظَلَمۡنَاۤ اَنۡفُسَنَا وَاِنۡ لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَـنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَـنَكُوۡنَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ

Rabbanaa zalamnaaa anfusanaa wa illam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin

“Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Walaupun Allah menerima permohonan maaf Nabi Adam as, tetap saja Allah memberikan sanksi kepada beliau berupa diturunkannya Nabi Adam ke dunia.

قَالَ اهۡبِطُوۡا بَعۡضُكُمۡ لِبَـعۡضٍ عَدُوٌّ‌ ۚ وَلَـكُمۡ فِى الۡاَرۡضِ مُسۡتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيۡنٍ‏

Qoolah bituu ba’dukum liba’din aduwwunw wa lakum fil ardi mmustaqarrunw wa mataa’un ilaahiin

(Allah) berfirman, “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan.”

Dan tentang alam dunia ini Allah ta’ala menyatakan dengan tegas :

قَالَ فِيۡهَا تَحۡيَوۡنَ وَفِيۡهَا تَمُوۡتُوۡنَ وَمِنۡهَا تُخۡرَجُوۡنَ

Qoola fiihaa tahyawna wa fiihaa tamuutuuna wa minhaa tukhrajuun

(Allah) berfirman, “Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.”

Untuk kembali kepada keadaan Surgawi sebagaimana yang dialami kedua orang tua kita Adam dan Hawa maka sarat kembali adalah mentauhidkan Allah ta’ala yang tidak mungkin tercapai tanpa bimbingan Mursyid apalagi hanya sebatas membaca buku, youtube, searching google, atau medsos lainnya.

Tauhid kita yang utama telah menjadi perintah Ilahiyyah :

قُلۡ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ‌

Qul huwal laahu ahad

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa

Dan akhir perjalanan hidup kita wajiblah mencapai :

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali.”

Untuk memahami secara benar ayat itu, wajiblah bagimu wahai saudaraku untuk memiliki seorang guru Mursyid. Semoga Allah memberkahi dan merahmatimu. Aamiin.

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *