Etika Pergaulan Dalam Bertarekat

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : Dr., Supardi, S.H. M.H

Als. Rd. Supardi, S.H. M.H


Ilustrasi-Pondok Pesantren Nurul Jadid

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sungguh aku diutus menjadi rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”

Pada sebagian riwayat,

لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Sebagaimana dikatakan dalam hadits ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita terutama yang mengikuti ajaran Tarekat untuk selalu mawas diri dan menjalankan akhlak mulia sebagaimana yang dicerminkan oleh Rasulullah SAW.

Imam Junaid al-Baghdadi, “Siapa saja yang memiliki akhlak dan pekerti yang baik, maka ia semakin tinggi tasawufnya”.

Sudah menjadi sebuah konsensus para ulama bahwa akhlak Nabi Muhammad SAW adalah teladan dan panutan bagi umatnya. Imam Junaid sendiri menyimpulkan bahwa inti dari akhlak ada empat: kedermawanan, kemurahan hati, nasihat, dan kasih sayang.

Memang para sufi lebih banyak menitikberatkan pada sisi pekerti ketimbang perhatian mereka terhadap sisi ibadah. Bagi siapa saja yang akhlaknya baik meskipun dalam hal ibadahnya kurang sempurna dianggap lebih utama daripada orang yang ibadahnya terjaga namun etikanya buruk. Imam Junaid sendiri berkata:

Seorang fasik yang beretika baik lebih aku cintai ketimbang seorang qari’ yang berperilaku buruk.

Ungkapan Imam Junaid di sini berkaitan dengan etika pergaulan dengan orang lain yang mestinya dibangun dengan pekerti yang baik. Budi pekerti merupakan perbuatan lahir yang juga sekaligus menunjukkan sisi batin seseorang. Sebab yang bisa ditularkan oleh seseorang kepada yang lain adalah sesuatu yang tampak dari sisi lahiriahnya. Maka, siapa yang bersahabat dengan orang yang memiliki pekerti yang baik maka kebaikannya dapat ditularkan kepadanya. Sebaliknya, siapa yang bersahabat dengan orang yang berperilaku buruk, maka akan dapat terpengaruh oleh keburukannya. Oleh karena itu, Imam Junaid menilai pentingnya menyeleksi persahabatan, bahkan dalam persoalan untuk sekadar makan bersama sekalipun. Imam Junaid berkata:

Makan bersama-sama itu ibarat menyusu (bagi bayi), maka lihatlah dengan siapa kalian makan bersama!

Sebagaimana karakter dan akhlak bayi terbentuk dari ibu yang menyusuinya, maka sama halnya kebiasaan makan bersama. Sebab, biasanya makan bersama hanya bisa dilakukan dengan orang-orang yang sering bareng bersamanya.

Ada beberapa poin yang dapat diambil dari dawuh-dawuhnya Imam Junaid tentang etika persahabatan. Sekurangnya ada sembilan etika:

Pertama, izin persahabatan. Tidak nyelonong pergi tanpa izin. Sebagaimana Nabi Musa yang mula-mula memohon izin kepada Nabi Khidir untuk menjadi karibnya. Etika ini tidak hanya berlaku bagi guru-murid, melainkan berlaku bagi sesama sahabat. Nabi Musa meminta izin untuk membersamai Nabi Khidir, lalu Nabi Khidir mengizinkan dengan syarat; tidak banyak bertanya. Pada saat Nabi Musa bertanya (memprotes) tindakan yang dilakukan oleh Nabi Khidir, maka Nabi Khidir meninggalkan Nabi Musa. Dan, demikian juga bila kita menemukan sahabat yang sering kali tidak seirama maka sudah selayaknya untuk meninggalkannya.

Kedua, kasih sayang. Allah SWT berfirman:  “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”. Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa dalam persahabatan yang baik adalah menunjukkan adanya kasih sayang.

Ketiga, tidak menjelekkan sahabatnya dengan menunjukkan sesuatu yang tidak disukainya. Imam Junaid berkata: Ketika kamu memiliki sahabat, maka hendaknya janganlah melakukan sesuatu yang dibencinya. Semisal, membuka aibnya.

Keempat, murah senyum dan tidak cemberut. Menurut Imam Junaid, ketiadaan etika ini (senyuman) dalam persahabatan merupakan tanda adanya penyakit di antara dua orang yang bersahabat.

Kelima, tidak meminta lebih dari apa yang telah diberikan temannya. Penjelasan etika ini bisa diperoleh dari kisah Imam Junaid berikut: Dikisahkan bahwa Imam Junaid dan muridnya sedang beriktikaf di dalam masjid. Kemudian datang seorang tamu pelancong/wisatawan. Lalu murid-muridnya mempersilakan tamu dan menjamunya dengan hidangan yang ada. Sang tamu berkata: “Aku ingin makanan ini, makanan ini..” Kemudian Imam Junaid berkata, “Pergilah ke pasar, karena engkau orang pasar. Bukan bagian dari kami!”

Keenam, mengajak makan bersama-sama. Menjamu sahabat dan makan bersamanya merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan para sufi. Abu Thalib Al-Makki berkata, “Ketika Imam Junaid dan Imam Ibn Mubarak hendak makan siang maka keduanya membuka pintu rumahnya sembari mempersilakan sahabat dan tamu-tamunya baik kaya maupun miskin untuk makan bersama.”

Ketujuh, tidak menyelisihi sahabatnya.  Aplikasi dari etika ini misalnya tidak berpuasa sunnah sendirian. Apabila sahabatnya berbuka maka ikut berbuka. Begitulah yang dilakukan oleh Imam Junaid. Beliau adalah orang yang selalu berpuasa. Akan tetapi ketika sahabatnya datang ke rumahnya dan tidak puasa, maka akan diajak makan bareng. Ia berkata: Pahala membantu sahabat tidak lebih kecil daripada keutamaan puasa sunnah.

Kedelapan, tawadhu’. Imam Junaid merupakan salah satu sufi yang paling banyak menunjukkan ke-tawadhu’-an kepada sahabat dan juga murid-nya. Al-Jariri mengisahkan, “Suatu ketika saya datang ke Makkah, saya bergegas untuk menemui Imam Junaid supaya tidak merepotkannya untuk datang kepadaku, lalu aku pamit untuk pulang ke rumah. Paginya saya shalat Subuh di Masjid, aku terkejut melihat Imam Junaid berada di Shaf belakangku. Lalu aku berkata, “Kemarin sore aku mendatangimu agar supaya engkau tidak bersusah payah menemuiku, lalu beliau menjawab, “(kemarin) itu keutamaanmu dan (sekarang) ini hakmu”.

Kesembilan, humoris.  Banyak kisah humor yang bisa kita dapatkan dari Imam Junaid, salah satunya diceritakan oleh Sufi Abu Thalib Al-Makki sebagai berikut. Telah menceritakan kepada kami sejumlah guru sufi, suatu ketika Imam Junaid melakukan sebuah perjalanan bersama para muridnya. Beliau terkadang membuat guyonan yang membuat kami semua tersenyum dan tertawa.

*) Disadur dari penggalan sub bab tesis Luthfullah bin Mula Khawjah berjudul Al-Junaid bin Muhammad wa Arauhu al-Aqdiyyah wa as-Shufiyyah

link yang sama dapat diakses melalui https://pasulukanlokagandasasmita.com/etika-pergaulan-kaum-sufi/

Kututup dengan do’a :

اَللَّهُمَّ أَهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ اْلأَعْمَالِ، وَأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَقِنِي سَيِّئِ اْلأَعْمَالِ، وَسَيِّئِ اْلأَخْلاَقِ، لاَ يَقِي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allaahumma ahdinii li-ahsanil a’maal, wa ahsanil akhlaaq, la yahdii li-ahsanihaa illaa anta, wa qinii sayyi-il a’maal, wa sayyi-il akhlaaq, laa yaqii sayyi-ahaa illaa anta.

Artinya:

“Ya Allah, berilah petunjuk kepadaku untuk berbuat sebaik-baik amalan, sebaik-baik akhlak, tidak ada yang bisa menunjuki untuk berbuat sebaik-baiknya kecuali Engkau. Dan lindungi kami dari jeleknya amalan dan jeleknya akhlak, dan tidak ada yang melindungi dari kejelekannya kecuali Engkau.”

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *