Mursyid Wajib Bekerja dan Mencari Nafkah Tanpa Pernah Bergantung Pada Murid Maupun Orang Lain

Share posting

“Suatu pekerjaan yang dilakukan demi kebutuhanmu dan keluarga hanya akan bermanfaat apabila engkau memandangnya sebagai perintah Allah dan RasulNya”.

Artikel Eksklusif

Oleh: H Derajat

Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita

Ilustrasi-Akurat.co

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm

Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105)

Teringat akan pesan Mbah Maimun Zubair untuk para Guru: “Nak, kamu kalau jadi guru, dosen atau jadi kiyai kamu harus tetep usaha, harus punya usaha sampingan biar hati kamu nggak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran orang lain, karena usaha yang dari hasil keringatmu sendiri itu barokah”.

Demikian telah aku jelaskan pada link berikut ini tentang wajibnya seorang Mursyid untuk bekerja mencari nafkah :

Seorang Mursyidpun Harus Bekerja Untuk Urusan Dunianya

Di antara salah satu anjuran Islam yang sangat ditekankan kepada umatnya adalah usaha sungguh-sungguh (jihad) dan kerja keras untuk mencapai keinginan dan cita-cita.

Di samping itu, Islam juga mengajarkan agar manusia sebagai hamba Allah mampu menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan urusan akhirat mereka. Sehingga, aktivitas mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia yang bersifat sementara, seyogyanya juga seimbang dengan aktivitas ibadah untuk menggapai kebahagiaan abadi kelak di akhirat.

Khusus untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan dunia itulah diperlukan syarat berupa usaha sungguh-sungguh dan kerja keras diiringi pengorbanan dan doa.

Seperti disebut dalam banyak riwayat, ihwal usaha dan kerja keras ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

 

Sejarah pun mencatat bahwa Rasulullah SAW sendiri juga bekerja keras dengan cara berdagang semenjak beliau masih muda, bahkan dengan cara melakukan perjalanan dalam rangka mengembangkan bisnisnya hingga ke luar negeri untuk bekerja membantu perekonomian sang paman yang mengasuh beliau, Sayyidina Abu Thalib.

Sebaliknya, Islam mengecam sahabat Nabi yang hanya mementingkan akhirat saja dan membiarkan keluarganya telantar. Contoh ini dapat ditemukan dalam sebuah hadits yang mengisahkan bahwa ada seorang sahabat yang ingin meninggalkan urusan dunia agar lebih khusyuk beribadah. Sahabat tersebut berniat terus-menerus berpuasa dan beribadah sepanjang hari.

Mendengar berita tersebut, Rasulullah SAW bersabda bahwa orang-orang yang sama sekali meninggalkan urusan dunia dengan alasan untuk lebih mengutamakan urusan akhirat, bukan termasuk golongan beliau.

Teladan dalam bekerja keras pun dapat dijumpai dalam kisah cucu Rasulullah SAW yang bernama Imam Muhammad al-Baqir yang beliau adalah seorang Mursyid kami dalam tarekat Syathariyyah.

Alkisah, pada suatu siang yang terik, Imam Baqir tampak sedang bekerja keras di ladangnya.

Pada saat itulah, seseorang bernama Muhammad bin Munzir merasa aneh dan tak terima melihat Imam Baqir sedang berpanas-panasan di bawah terik matahari dan setelah kelelahan kemudian beristirahat dengan dua orang yang membantunya bekerja.

Muhammad bin Munzir pun kemudian menegur Imam Baqir, bahwa cucu Rasulullah itu tidak perlu bekerja keras dan tidak pantas mementingkan urusan duniawi lantaran beliau adalah seorang alim yang terkemuka.

Kepada Imam Baqir, Muhammad bin Munzir lebih jauh berkomentar, “Apa yang akan Anda lakukan bila sang maut datang menjemput Anda sementara Anda sedang sibuk mengejar urusan duniawi?”

Menanggapi “protes” dan sindiran Muhammad bin Munzir, Imam Baqir pun dengan tenang berkata, “Biarkanlah sang maut datang menjemputku sementara aku beribadah kepada Allah SWT. Karena aku bekerja memang untuk menutupi keperluanku dan keperluan keluargaku.”

Maksud Imam Baqir adalah bahwa bekerja keras demi mendapatkan penghasilan dengan tujuan untuk membantu diri dan keluarga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, dan aktivitas itu pun tergolong ibadah dalam pandangan Allah SWT. Artinya, Islam tidak suka melihat kita menjatuhkan martabat diri dengan bermalas-malasan dan meminta-minta kepada orang lain.

Muhammad bin Munzir yang kemudian tersadar dengan apa yang disampaikan Imam Baqir, mengaku malu atas komentarnya yang tidak pantas tersebut dan berkata, “Anda benar. Aku tadinya ingin memperingatkan Anda, tetapi justru Andalah yang akhirnya menyadarkanku.”

Apa yang ditegaskan Imam Baqir tersebut adalah sebuah catatan penting bahwa bekerja keras untuk mencari nafkah dan memperoleh pendapatan yang cukup, merupakan kewajiban yang telah dititahkan oleh Allah SWT kepada setiap Muslim.

Imam Baqir lebih lanjut berkata, “Barangsiapa yang bekerja untuk memperoleh pendapatan, ia akan semakin mendapatkan kemudahan, bebannya akan menjadi ringan dan keluarganya pun akan terbebas dari kemalangan dan kerisauan.”

Imam Baqir, cucu Rasulullah SAW termulia, yang juga merupakan seorang alim terkemuka pada zamannya, tidak menyukai kemalasan apapun bentuknya.

Untuk itu, beliau menentang setiap bentuk kemalasan dan mengingatkan, “Berhati-hatilah dari sikap malas dan rasa jenuh, lantaran keduanya merupakan kunci segala kejahatan.”

Imam Baqir juga mencela siapa pun yang hidupnya bersandar kepada sedekah orang sebagai mata pencaharian mereka. Terkait hal ini beliau berkata, “Aku benci kepada orang yang tidak punya pekerjaan, yang hanya berlaku santai dan berpangku tangan sembari berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikanlah aku ini, berikanlah itu’. Ia meminta agar Allah berbuat baik kepadanya (tanpa dirinya berbuat apa-apa) sementara seekor semut kecil pun keluar dari sarangnya guna mencari nafkah untuk penghidupannya.”

Serupa dengan apa yang dilakukan oleh Imam Baqir di masa lalu, di masa kita sekarang pun ternyata ada seorang ulama terkemuka yang demi memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sehari-hari, tetap bekerja keras dengan berjualan air di pasar.

Hadratusy Syaikh Mbah Hasyim Asy’ari adalah petani. Beliau boleh dibilang adalah petani yang kaya. Dan dari hasil sawahnya itu beliau menghidupi Pesantren dan para santrinya.

Mengapa beliau sebegitu kerasnya bekerja? Mengutip kata-kata dari KH. Hasyim Asy’ari, “Tidak boleh ada santriku yang tidak makan…”

Kuakhiri dengan doa Ashabul Kahfi :

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

Rabbanã ãtinã mil ladunka rahmataw wa hayyi’ lanã min amrinã rasyadã

“Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami”. (QS. Al-Kahfi [18]: 10).

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *