Kualitas Penyelenggara Pemilu, Trust Publik dan Partisipasi Pemilih

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : Nuni Nurbayani, M.Pd.I

Nuni Nurbayani, M.Pd.I., adalah Anggota KPU Garut divisi SDM, Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat. (foto Istimewa-grahabignews.com)

Secara serentak KPU baru saja melaksanakan Pembentukan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mulai dibentuk tanggal 11 Desember dan diumumkan tanggal 30 Desember 2023. KPPS akan dilantik tanggal 25 Januari 2024 dengan masa tugas 1 bulan hingga 25 Februari 2024.

KPU menetapkan 823.220 Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu 2024. Sebanyak 3.059 TPS di antaranya berada di luar negeri. Artinya, terdapat 820.161 TPS Pemilu 2024 yang dibentuk di seluruh desa/kelurahan yang ada di 38 provinsi Indonesia.

Dengan jumlah 820.161 TPS, berarti total jumlah anggota KPPS Pemilu 2024 yang akan direkrut oleh KPU mencapai 5.741.127 petugas KPPS.

Jika jumlah anggota KPPS 2024 di setiap TPS dalam negeri ditambah dengan 2 petugas pengamanan, berarti secara keseluruhan akan ada 7,38 juta orang yang akan melaksanakan Pemilu dan menjadi ujung tombak suksesnya Pemilu 2024.

Sementara itu, di Kabupaten Garut ada 56.000 KPPS yang dibutuhkan untuk bertugas di 8000 TPS. Hal ini juga disosialisasikan oleh KPU Garut pada acara sosialisasi dan pendidikan pemilih yang dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2023 di Ballroom Pave Hotel Garut.

Pada kesempatan ini KPU Garut mengundang 200 peserta diantaranya dari ADI (Asosiasi Dosen Indonesia) Kab Garut, MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) PKN, Perwakilan Organisasi Perempuan, Organisasi Pemuda, Organisasi Mahasiswa, Organisasi Pelajar, Disabilitas dan Forum Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Garut.

Pada kesempatan tersebut peserta banyak menyoroti soal rekrutmen KPPS yang sedang berlangsung, misalnya dari Asosiasi Dosen mempertanyakan soal kualitas KPPS, terkait persyaratan minimal pendidikan KPPS yang boleh memiliki kualifikasi minimal bisa calistung. Juga mempertanyakan kecurangan di TPS dan kematian KPPS pada tahun 2019.

Kualitas KPPS, kecurangan serta kematian KPPS pada tahun 2019  menurut perwakilan aliansi Dosen menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu serta menurunkan minat masyarakat untuk ikut serta menjadi KPPS, juga berimplikasi pada partisipasi pemilih pada penyelenggaraan Pemilu.

Pengaruh Trust Publik Terhadap Partisipasi Pemilih

Dalam penyelenggaraan negara yang menganut system demokrasi, trust (Kepercayaan) Publik merupakan pondasi utama untuk membangun legitimasi pemerintahan dan keberlanjutan system demokrasi. Termasuk pada penyelenggaraan Pemilu. Tanpa kepercayaan masyarakat penyelenggaraan Pemilu tidak akan berjalan dengan baik. Karena masyarakat berdaulat merupakan subjek dari penyelenggaraan Pemilu. Masyarakat yang tidak percaya pada kredibilitas penyelenggaraan Pemilu menyebabkan ketidakhadiran mereka pada perhelatan periodik lima tahunan ini. Ketidakhadiran pemilih ini sering disebut dengan golput.

Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional (UNAS), TB Massa Djafar dalam artikel yang ditulisnya (2009), mengatakan fenomena golput di negara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, sudah dianggap hal biasa. Sikap golput pemilih tidak berarti pertanda krisis politik atau perlawanan terhadap sistem politik atau Pemilu. Bahkan, bisa dibaca adanya political trust tinggi. Mereka percaya siapapun pemenang Pilpres tidak merugikan kepentingan mereka. Dengan demikian, persentase angka kemanangan Pilpres, tidak selalu dibaca tinggi rendahnya legitimasi seorang presiden terpilih.

TB Massa Djafar melanjutkan, bagi negera-negara demokrasi dunia ketiga, seperti Indonesia tinggi rendahnya angka partisipasi politik dalam Pemilu, terkait dengan kuat lemahnya legitimasi. Karenanya, kuantitas partisipasi politik dan perolehan suara menjadi sangat penting mengukur kualitas legitimasi. Pemilu atau Pilpres 2019, adalah Pemilu yang ke lima pasca Orde Baru. Ekspetasi rakyat terhadap sistem demokrasi Orde Refomasi sangat tinggi.

Di sisi lain, realitas politik tidak selalu bisa memenuhi harapan ideal rakyat. Mulai dari isu ketimpangan sosial, masih tingginya korupsi, tingkat kesejahteraan rendah, penegakan hukum diskriminatif, soal keadilan dan isu-isu sensitif lainnya. Termasuk, soal aspirasi masyarakat yang tidak terwadahi melalui mekanisme demokrasi prosedural. Dalam politik keseharian misalnya, parpol cenderung mewakili kepentingan dirinya sendiri, daripada menyuarakan kepentingan rakyat. Rekrutmen parpol terhadap pejabat publik yang tidak kompeten dan korup. Termasuk juga isu paslon Pilpres untuk sebagian pemilih tidak terwakili aspirasinya. Maraknya isu perlu tidaknya debat paslon presiden, yang menyita perhatian publik, memunculkan berbagai spekulasi, pendapat bahwa paslon yang diusung diragukan kemampuannya.

Sumber : Lokadata

Lokadata (2019) merilis persentase golput Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 1971-2019 yang disarikan dari berbagai sumber.

Masih dilansir dari lokadata, persentase golput atau tidak memilih dalam pemilihan Presiden pada 2019 menurun yakni 19,24 persen dari total PDT yakni 192,83 juta jiwa dibandingkan tahun 2014. Hal ini berdasarkan lembaga survei, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Sementara, golput pada pileg 2019 justru lebih besar dibandingkan Pilpres yakni 29,68 persen. Jumlah tersebut juga juga naik dibandingkan tahun 2014.

Menyimak data golput sejak Pemilu 2004 cukup signifikan. Hal tersebut, bisa dibaca sebagai ekspresi ketidakpuasan. Dalam konteks pembangunan politik, menurut Analisa TB Massa Djafar hal ini bisa terjadi karena rancang bangun sistem politik, sistem kepartaian, sistem Pemilu dan kebijakan publik hajat hidup rakyat banyak menyimpan persoalan. Sehingga ia menjadi sebuah akumulasi sikap pemilih, terutama bagi pemilih kritis.

Jika isu golput semakin meningkat pada Pileg 2019, fenomena golput bisa dimaknai sebagai pertanda krisis politik sedang melanda di negeri ini. Sekurang-kurangnya sebagai warning kepada para elit politik dan paslon presiden. Gejala golput tidak bisa dipandang remeh. Justru harus dijadikan cermin untuk mengevaluasi atas hasil atau langkah langkah politik yang mengarah terjadinya pembusukan politik (political decay) baik karena disengaja atau tidak.

Membangun Kepercayaan Pemilih Pada Penyelenggara

Public trust atau kepercayaan publik pada penyelenggaraan Pemilu merupakan hal yang fundamental. Membangun kepercayaan publik harus menjadi concern penyelenggara jika ingin tujuan pemilu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tercapai. Salah satu tujuan Pemilu pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa tujuan Pemilu adalah untuk mewujudkan ketatanegaraan yang demokratis. Yang pada akhirnya tujuan ini bermuara pada kesejahteraan bersama (bonum commune).

Konsep kepercayaan dikembangkan oleh Stephen P. Robbin seorang akademisi/dosen dan guru besar di beberapa universitas, seperti San Diego State University, Southern Illinois University (Edwardsville), University of Baltimore, Concordia University (Montreal), Nebraska University (Omaha). Robbins (2002: 139) menyatakan bahwa teori kepercayaan dapat dibangun dengan lima dimensi yaitu pada integritas (integrity), kompetensi (competence), konsistensi (concistency), kesetiaan (loyality) dan keterbukaan (oppeness).

Dimensi pertama yakni integritas (integrity) mencakup pada kejujuran, sikap, perilaku atau pun kebiasaan. Integritas penyelenggara Pemilu yang mencakup beberapa hal mendasar tersebut jadi acuan masyarakat untuk memberikan label apakah penyelenggara tersebut patut dipercaya sehingga masyarakat akan datang secara sukarela untuk memberikan suaranya di hari pemilihan.

Dimensi kedua yakni kompetensi (competence) mencakup pada keahlian dalam mengembangkan hubungan dengan pihak lain. Sejauh ini penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU baik tingkat pusat maupun daerah telah melakukan konsolidasi demokrasi melalui koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan Pemilu dapat dilaksanakan dengan baik didukung oleh semua pihak.

Dimensi ketiga yakni konsistensi (concistency) yaitu adanya kebiasaan baik yang dilakukan oleh organisasi dalam menciptakan kepercayaan. Hal ini penting. Penyelengara harus memiliki kesadaran bahwa segala tindak tanguknya termasuk dalam konsistensi pelaksanaan aturan Pemilu diawasi oleh masyarakat.

Dimensi keempat yakni kesetiaan (loyality) yaitu keinginan untuk terus melakukan hal yang sama bagi organisasi atau mengabdi dengan setulus hati serta patuh atas segala aturan. Penyelenggara Pemilu harus mengutamakan kepentingan lembaga dan masyarakat. Sumber daya yang ada digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan Pemilu agar terselenggara dengan baik dan optimal.

Dimensi kelima yaitu keterbukaan (oppeness) yaitu secara terbuka memberi ide-ide dan menyampaikan segala informasi yang dibutuhkan. Pengembangan konsep kepercayaan dilandaskan dalam penyelenggaraan Pemilu bertujuan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu dan internalisasi demokrasi sebagai bentuk legitimasi masyarakat. Mengingat KPU memiliki agenda besar untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada  serentak tahun 2024. Membangun trust publik menjadi sebuah keniscayaan.

Mendulang Optimisme Saat Dihantam Gelombang Distrust

Mendiaspora optimisme saat dihantam gelombang Distrust ibarat menegakkan benang basah. Beberapa persoalan yang mendera Penyelenggara yang melibatkan Penyelenggara Pemilu di daerah meningkatkan sinisme publik terhadap penyelenggara. Belum pentas akrobatik para peserta Pemilu di media mainstream dan media sosial menggerus trust masyarakat.

Dihadapan dua ratus peserta dari Asosiasi Dosen, Guru PKN dari beberapa organisasi perempuan, pelajar, mahasiswa, pemuda, disabilitas, saya berupaya menebar optimisme. Karena optimisme menjadi satu-satunya pilihan saat ini sebagai upaya agar pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak 2024 berjalan sebagaimana mestinya. Keyakinan bahwa Negara ini akan lebih baik di masa yang akan datang harus terus disemai kepada para pemilih. Pemilih harus menjadi subjek yang akan mengawal Pemilu 2024 hingga melahirkan pemimpin yang lebih baik.

Meningkatnya peran dan partisipasi masyarakat dalam Pemilu serta kepuasan peserta Pemilu karena Penyelenggara bersikap netral dan adil wajib menjadi fokus dan tujuan dari penyelenggaan Pemilu. Penyelenggara Pemilu harus bekerja keras mendulang optimisme pemilih agar trust pemilih semakin meningkat dan upaya mewujudkan ketatanegaraan yang demokratis dapat tercapai.

 

*Penulis adalah Anggota KPU Garut divisi SDM, Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat.

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *