Bertanya Tentang Motivasi Allah Terhadapmu Pertanda Imanmu Masih Tipis

Share posting

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat

H Derajat&Ibu Fitri Laela Derajat Bersama Keluarga Tercinta (foto file grahabignews.com)

Di hari Minggu ini ijinkan aku wahai kekasihku, wahai sahabatku, wahai anak-anakku untuk membukakan salah satu tabir Allah untuk kita jadikan bekal dalam kehidupan ini.

Kenapa ya Allah, Engkau timpakan cobaan ini kepadaku, mengapa pula Engkau pertemukan dia kepadaku, mengapa Tuhan mereka lebih berbahagia ketimbang aku ? Kenapa Engkau jodohkan aku dengan nya yang akibatnya aku menderita. Wow dan masih banyak lagi pertanyaan semisal dengan itu berkecamuk di dalam hati kita, bukan ?! Itu pertanda iman kita masih tipis dan rapuh. Kita masih mengecap Allah tidak tahu apa-apa tentang kita.

Bukankah Imam Husein bin Manshur al-Hallaj pernah mengatakan:

من عرف الحقيقة في التوحيد سقط عنه لما وكيف

“Orang yang telah mengetahui hakikat Tauhid, akan musnah darinya pertanyaan semacam ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, Beirut: Darul Kutub, 2001, hlm 47).

Di dalam mengikuti ajaran Tarekat terlalu banyak bertanya tentang motivasi Mursyid (Guru) terhadap muridnya juga menandakan sang murid tidak akan pernah sampai kepada hakekat Ketuhanannya, dikarenakan semua Mursyid tarekat tidaklah diangkat menjadi Mursyid atas kehendaknya sendiri, tetapi diangkat oleh seluruh Mursyid pendahulunya yang berada dalam nasab silsilah tersebut.

Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariruddin Attar menceritakan kisah antara Abu Abdullah bin Khafif dengan dua muridnya. Diceritakan:

أنه كان له تلميذان، إسم أحدهما أحمد الكبير والآخر أحمد الصغير، وكان نظر الشيخ ومحبته إلي الصغير أكثر، والأصحاب غاروا لأجل أن الكبير كان ملازما لمجلس الشيخ مدة أكثر من الصغير، وكانت له رياضات ومجاهدات، فعلم الشيخ بغيرتهم وأراد امتحانهم، فقال يوما لأحمد الكبير: احمل البعير الذي برك علي خانقاه، واصعد به الي السطح، فقال: يا شيخ هل يمكن ذلك مع ثقل البعير وضعفي، قال الشيخ: فلا إذن، ثم التفت إلي الصغير وأمره بحمل البعير علي كتفه والصعود به إلي السطح، فقام وشد وسطه بمشد وذهب إلي البعير واجتهد في حمله غاية طاقته ووسعه، فقال الشيخ: اترك، فإن المقصود قد حصل، ثم قال للأصحاب البتة: أنا أعلم أن الإنسان لا يقدر علي حمل البعير، لكن الكبير قد دخل من باب الإعتراض ولإنكار ولم يقبل الأمر، والصغير شرع في الإمتثال واجتهد مقدار وسعه، وظاهر الحال دليل علي باطنه.

Imam Ibnu Khafif mempunyai dua murid. Satu dipanggil Ahmad al-Kabir (lebih tua) dan satunya lagi dipanggil Ahmad al-Shaghir (lebih muda). Imam Ibnu Khafif lebih mencintai Ahmad al-Shagir. Sahabat-sahabat Ahmad al-Kabir cemburu (iri), dengan alasan Ahmad al-Kabir lebih lama menjadi murid Imam Ibnu Khafif, menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, banyak melakukan riyadlah dan mujahadah diri.

Imam Ibnu Khafif mengetahui kecemburuan mereka dan berencana melakukan pengujian. Suatu hari Imam Ibnu Khafif berkata kepada Ahmad al-Kabir, “Bawalah unta itu ke atap Khanqah (ribat sufi).”

Ahmad al-Kabir menjawab, “Wahai guru, bagaimana mungkin membawa unta seberat itu ke atap Khanqah dengan tenagaku yang lemah?”

“Jika begitu, kau tidak perlu melakukannya,” kata Imam Ibnu Khafif.

Kemudian Ibnu Khafif beralih kepada Ahmad al-Shaghir, memerintahkannya membawa unta dengan pundaknya naik ke atap Khanqah. Ahmad al-Shaghir bergegas berdiri, mengikat pinggangya dan menggulung lengan bajunya. Ia berlari menuju unta, berusaha mengangkatnya dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Melihat itu Imam Ibnu Khafif berkata, “Sudahlah, cukup. Tujuan dari perintahku telah menuai hasil.”

Lalu Ibnu Khafif berkata kepada sahabat-sahabat Ahmad al-Kabir:

“Aku sangat tahu bahwa manusia tidak akan mampu mengangkat unta. Tapi Ahmad al-Kabir telah masuk dari pintu keberatan dan penyangkalan, serta tidak menerima perintah yang ku berikan. Sedangkah Ahmad al-Shaghir, dengan sigap melaksanakan perintahku dan berusaha mengangkatnya sekuat tenaga. Apa yang ditampakkan zahirnya adalah tanda bagi keadaan batinnya.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009,hlm 665).

Kisah di atas selain bercerita tentang ketakziman seorang murid yang mematuhi gurunya, pun merupakan gambaran besar tentang bagaimana seharusnya hubungan hamba dengan Tuhannya. Ketika berhubungan dengan Tuhan, seorang hamba tidak perlu menanyakan motif Tuhan dalam memberikan cobaan, memerintahkan sesuatu atau melarang sesuatu. Serahkan semuanya kepada Tuhan. Apalagi Tuhan dengan jelas mengatakan (hadits qudsi),  “Anâ ‘inda dzanni ‘abdî bî—Aku tergantung persangkaan hambaKu kepadaKu.” Hadits qudsi tersebut memberi kita pengetahuan agar kita berhati-hati dalam mempertanyakan motif Tuhan. Jangan sampai kita menyangka yang tidak-tidak kepadaNya.

Di sisi lain, Allah berfirman (Q.S. al-Baqarah [2]: 286): “lâ yukallifu Allah nafsan illâ wus’aha—Allah tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya.” Ayat ini memiliki makna yang sangat luas dan dalam. Agar tidak sampai berburuk sangka kepada Allah, kita harus mengetahui salah satu makna ayat tersebut. Salah satu maknanya adalah, ketika seseorang mendapatkan ujian dari Allah, artinya Allah telah percaya dengan kemampuan orang tersebut menyelesaikannya, karena Allah tidak akan memberikan cobaan yang melebihi kemampuan hambaNya. Persoalannya terletak pada bagaimana kita menjaga kepercayaanNya itu.

Ahmad al-Shaghir, dalam hal ini, merupakan contoh yang baik. Ia melaksanakan perintah gurunya tanpa keraguan sedikit pun. Tidak peduli perintah itu masuk akal atau tidak. Dengan kecerdasannya, ia pasti tahu mengangkat unta sebesar itu ke atap Khanqah adalah tidak mungkin. Tapi, ketidak-mungkinan tidak mencegahnya untuk mematuhi perintah gurunya. Berbeda dengan Ahmad al-Kabir, pengetahuannya tentang ketidak-mungkinan itu mencegahnya untuk mematuhi perintah gurunya.

Hal ini tidak berbeda dengan Iblis yang merasa lebih tahu dari Allah. Perasaan lebih tahu itulah yang menghalanginya untuk mentaati perintah Allah ketika disuruh bersujud kepada Adam, selain merasa dirinya lebih mulia. Akan tetapi, jika diamati lebih dalam, dosa terbesar Iblis bukan kesombongan antar sesama makhluk (dirinya dengan Adam), melainkan dosa kesombongan mempertanyakan keputusan Allah yang menetapkan Adam lebih mulia darinya. Karena itu, ketika Iblis dinyatakan bersalah dan diusir dari surga, ia tidak berusaha memohon ampunan Allah, malah mengancam akan menyesatkan anak cucu Adam. Sementara Adam, ketika ia bersalah memakan buah khuldi, ia dan Hawa langsung memohon ampunan Allah dengan mengatakan (Q.S. al-A’raf [7]: 23):

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jikalau Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”

Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kepatuhan kita kepada Allah, menyerahkan segalanya kepadaNya. Menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kita tidak perlu mempertanyakan keputusan Tuhan. Sebab, banyak sekali hal yang tidak ada jawabannya di dunia ini, seperti kita tidak bisa memilih dari rahim siapa kita lahir, tapi kita bisa memilih bagaimana cara kita menyikapi dan mensyukurinya. Toh, kita sudah terlanjur ada. Berbuat kebaikan dan kebajikan merupakan manifestasi terbaik dari keberadaan kita.

Wallahu ‘alam.

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *