KISAH PEMUDA YANG INGIN MATI
Artikel Eksklusif
Oleh : Fitri Layla Derajat
Inilah sebuah kisah hikmah yang sebaiknya kita ketahui untuk menyikapi kehidupan yang penuh dengan kisah menyeramkan sekitar kita, dari mulai wabah penyakit, ketakutan keruntuhan ekonomi, takut kemiskinan dll.
Wabah virus Corona yang kini mendunia mengingatkan saya pada kisah Tzalbazar, Azzam Al-Jormy, dan gua kematian. Jika Tzalbazar ingin sekali mati karena benci Tuhan, Azzam sang sufi sangat ingin mati justru karena rindu Tuhan. Begini kisahnya:
Ratusan tahun dari sekarang, di salah satu pojok Bumi di daratan Afghanistan, tinggallah seorang lelaki yang sejak kecil hidup miskin. Namanya Tzalbazar. Lelaki ini sudah bosan hidup dan benci sekali pada Allah. Ia menganggap Allah tak adil padanya lantaran kemiskinan yang lama ia derita itu.
Sudah tiga kali ia mencoba bunuh diri tapi selalu gagal. Orang-orang selalu saja memergoki dirinya di saat-saat terakhir ketika ia hampir berhasil mengusir nyawanya sendiri. Bahkan, pernah lima kali ia bertarung melawan perampok, tapi sialnya selalu saja dia yang menang. Tzalbazar putus asa. Bukan cuma miskin, mati pun susah baginya.
Lelaki kelahiran Feyzabad ini akhirnya merantau dari satu desa ke desa lain hanya untuk mencari orang yang mampu membunuhnya. Di setiap desa ia bertanya di mana ada orang sakti yang bisa menolong mencabut nyawanya. Akhirnya, sampailah ia di desa Galalabad. Seorang penduduk desa memberitahu bahwa di pinggir desa ada juga seorang lelaki sakti yang juga ingin mati, tapi sudah 10 tahun belakangan ia hanya berani bertapa di depan sebuah gua. ‘’Berdoa saja pada Tuhan semoga dia bisa membantu kamu mati,’’ kata penduduk desa itu.
Tzalbazar segera bergegas pergi ke pinggir desa lalu bertemu Azzam Al-Jormy yang ternyata seorang ahli tarekat dari desa Jorm. Sudah 10 tahun dia menetap di depan sebuah gua di pinggir desa Galalabad. Ia kerap terlihat duduk bersila berjam-jam di depan gua itu dengan tasbih di tangannya. Tak sabar, Tzalbazar segera menyapanya.
‘’Orang tua, dari jauh saya datang ke sini untuk minta bantuan anda”.
‘’Apa yang bisa saya bantu?’’
‘’Tolong bunuh saya. Saya sudah bosan hidup karena selalu miskin sejak kecil.”
Azzam Al-Jormy lalu tertawa. Dia heran pada Tzalbazar, bagaimana mungkin untuk bisa mati saja susah, apalagi untuk jadi orang kaya. Akhirnya dia berkata dengan nada agak berat.
‘’Dengarkan, gua yang saya jaga selama 10 tahun ini sebenarnya gua kematian. Siapa saja yang masuk ke dalam gua ini pasti mati. Jadi kalau kamu ingin cepat mati, masuklah cepat ke gua itu, kamu pasti mati seperti orang-orang yang pernah masuk ke dalamnya lalu tak pernah kembali.”
‘’Tapi saya dengar Anda juga ingin mati? Mengapa Anda tidak masuk saja ke gua itu jika benar ini gua kematian?’’ sergah Tzalbazar.
‘’Jika saya sengaja masuk ke gua itu, berarti saya bunuh diri,’’ jelas Azzam Al-Jormy. ‘’Padahal ilmu tarekat yang saya pelajari mengajarkan saya untuk menjadi orang yang paling bermanfaat pada orang lain sebelum saya dipanggil Allah SWT. Saya sedang menunggu kapan giliran saya masuk ke dalam gua itu agar saya bisa cepat melihat Wajah Allah”.
Tzalbazar tak banyak bertanya lagi, dia segera masuk ke dalam gua itu. Wajahnya sumringah, sebentar lagi dia mati. Dia sudah muak dengan kesengsaraan di dunia ini.
Benar saja, baru beberapa langkah memasuki gua, dia melihat banyak tengkorak manusia berserakan. Mereka adalah korban-korban yang mati akibat memasuki gua itu. Tapi, bukan ngeri melihat tengkorak-tengkorak itu, Tzalbazar malah tambah masuk ke dalam gua. Begitu berjalan tiga langkah, tiba-tiba dia mendengar suara keras sekali berdegum dari dalam gua hingga meruntuhkan beberapa stalaktit yang menempel di dinding gua.
Rupanya, suara menggelar inilah yang membuat orang-orang yang pernah masuk ke dalam gua itu panik lalu mati mendadak. Mereka membuat dugaan yang bermacam-macam tentang suara menggelegar itu lalu mati mendadak akibat dugaan mereka sendiri, bukan akibat suara itu. Inilah yang terjadi pada Tzalbazar. Dia bukan panik tapi malah tertawa gembira menantang-nantang suara keras berdegum itu.
‘’Hoooooi, siapa kamu?’’ teriak Tzalbazar tak mau kalah. ‘’Malaikat pencabut nyawa atau biang setan? Maju sini kalau berani!’’
Begitu Tzalbazar balas berteriak dengan berani, tiba-tiba saja dinding atas gua itu runtuh menimbulkan suara yang lebih menggelegar lagi. Ternyata itu adalah suara ribuan emas batangan yang berjatuhan dari atap gua. Inilah sesungguhnya rahasia gua itu selama ini: jika ada orang tidak mati akibat suara menggelar yang muncul dari dalam lalu dia malah berani menantang suara menggelegar itu, maka suara tantangan yang berani itu menjadi kunci runtuhnya ribuan emas batangan yang bergelantungan di dinding gua. Inilah yang selama ini tidak diketahui penduduk desa Galalabad.
Maka, dengan senang hati Tzalbazar keluar gua sambil membawa berkarung-karung emas yang tak ternilai itu. Wajahnya sumringah. Dia bakal jadi orang kaya-raya. Apa yang baru saja ia alami di dalam gua diceritakannya pada Azzam Al-Jormy.
‘’Tapi, anak muda, buat apa emas-emas itu? Bukankah tadi engkau ingin sekali mati? Mengapa sekarang engkau terlihat seperti orang yang ingin hidup selamanya?’’
‘’Dengarkan, wahai ahli agama,’’ sergah Tzalbazar. ‘’Tadi saya mau mati karena saya bosan hidup akibat miskin. Tapi sekarang kan saya kaya-raya dengan emas-emas ini, untuk apa saya ingin cepat-cepat mati?’’
Usai berkata seperti itu Tzalbazar menyerahkan dua karung emas kepada Azzam Al-Jormy sebagai ungkapan terima kasih. Tapi Azzam menolak dengan cepat. ‘’Aku datang ke gua ini untuk cepat mati karena rindu pada Allah, bukan menginginkan emas-emas ini yang justru menjadi penghalang diriku melihat Wajah Allah,’’ jelas sang sufi dengan mantap.
Tzalbazar tercenung mendengar uraian Azzam. ‘’Kalau begitu aku batal ingin cepat mati, tapi bukan berarti aku ingin hidup berfoya-foya dengan emas-emas ini. Akan aku bagikan kekayaan besar ini kepada fakir miskin agar hidupku yang hanya sekali ini bermanfaat buat orang banyak sebelum aku meninggal dunia … ‘’
Demikianlah kisah Tzalbazar, Azzam, dan gua kematian. Mendekati kematiannya Tzalbazar juga menjadi seorang sufi yang tidak cinta dunia. Sepanjang hidupnya ia justru membagi-bagikan kekayaannya – sesuatu yang selama ini justru hilang darinya dan karena itu ia membenci Tuhan.
Tapi, apa hubungannya kisah dua sufi ini dengan wabah Corona? Monggo, silahkan ditarik kesimpulannya sendiri.