PIDATO PERTAMA KHALIFAH UMAR BIN KHATAB SEBAGAI AMIRUL MUKMININ

Share posting

Ing jagadíng sêsrawungan mono nyirík marang sêsipatan kang gumêdhê lan wêwatakan kang tansah ngêgúngakê dhiri. Sipat lan wêwatakan mau adhakanê banjúr nuwúhakê råså ora lilå yèn nyipati ånå liyan síng luwíh katimbang dhèwèkê. Mulå saibå bêcikê samångså såpå kang rumangsa pintêr dhêwê, sugíh dhêwê, lan kuwåså dhêwê iku gêlêma nglaras dhiri lan nglêrêmakê cíptanê kang wêning, yèn sêjatinê isíh ånå manèh kang Måhå Pintêr, Måhå Sugih, lan Måhå Luhúr. Klawan mangkono råså pangråså dumèh lan takabúr kang dadi sandhungan pasrawungan biså sumingkír.

Artikel Eksklusif

Oleh : H Derajat


Ilustrasi google search-dedlee30.blogspot.com

(Dalam dunia pergaulan seyogyanya menghindari sifat sombong dan watak yang selalu membesar-besarkan diri sendiri. Sifat dan watak tersebut biasanya menimbulkan perasaan tidak rela jika menemukan orang lain yang lebih dari dirinya. Maka alangkah baiknya bilamana siapapun yang merasa paling pinter, paling kaya, dan paling berkuasa hendaklah mengendapkan hati, mengheningkan cipta, bahwa sebenarnya masih ada lagi yang Maha Pandai, Yang Maha Kaya, Yang Maha Tinggi. Dengan begitu sikap  mentang-mentang  dan takabur yang menjadi batu sandungan dalam pergaulan akan menyingkir).

Bismillahirrohmanirrohim

Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

Dikisahkan dalam Kitab Hayatus Shahabah, ada peristiwa unik terjadi ketika Umar bin Khatab akan melakukan pidato pertama setelah dibaiat menjadi pemimpin tertinggi umat Islam sebagai pengganti Abu Bakar as-Shiddiq RA. Sehingga banyak sahabat dan tabiin berbondong-bondong mendatangi Umar untuk mendengarkan pidato pertama khalifah barunya. Tentu saja banyak orang yang penasaran dengan apa yang disampaikan Umar, maklum namanya pemimpin tertinggi umat Islam saat itu….

Ketika orang-orang telah banyak berkumpul, Sayyidina Umar naik ke mimbar. la memulai pidato dengan memuji Allah lalu berselawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad.

Umar lalu berkata, “Jamaah sekalian. Ketahuilah! Dulu aku hanyalah pemuda yang menggembala kambing-kambing milik bibi-bibiku dari Bani Makhzum. Dari situlah aku diberi upah kurma dan anggur kering untuk makanku setiap hari. Maka, hari ini pun aku tak lebih dari seorang penggembala. Sampai kapan pun aku hanyalah seorang penggembala kambing! Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”

Umar lantas turun dari mimbar. Hanya itu saja yang disampaikan dalam pidato pertamanya. Singkat, padat dan tidak jelas sebab membingungkan banyak orang. Banyak sahabat yang bingung dengan pidato singkat Umar tersebut.

Dari sekian banyak sahabat yang bingung tersebut, Abdurrahman bin Auf memberanikan diri untuk mendatangi Umar dan bertanya, “Wahai, Amirul Mukminin. Aku mau mengatakan, sungguh pidatomu tadi tidak membuatku mencelamu sama sekali. Tapi aku ingin bertanya, mengapa hanya itu yang panjenengan sampaikan?”

Maka Umar menjawab, “Kau tahu mengapa aku berkata begitu?”

“Mboten. Kulo mboten ngertos maksud njenengan. Saya tak mengerti sejatinya pidatomu,” kata Abdurrahman sambil berjalan menyertai Umar.

“Jadi seperti ini, Kang Mas. Sebagai manusia biasa, aku juga memiliki nafsu. Ketika aku menyendiri, nafsuku berkata kepadaku: Engkau ini seorang Amirul Mukminin. Sebagai seorang pemimpin tertinggi maka siapa lagi yang lebih utama darimu? Begitulah kira-kira nafsuku berharap agar aku menjadi orang yang sombong. Maka, agar aku tak sombong, aku harus menyadari jati diriku yang tidak lain adalah seorang penggembala kambing!”

Dalam kisah ini, Umar bin Khathtab menegaskan betapa bahayanya bujuk rayu hawa nafsu. Jika sahabat sekelas Umar saja tak terlepas dari bisikan jahat nafsunya, apalagi manusia biasa seperti kita semua. Bujuk rayu hawa nafsu untuk merasa lebih dari orang lain pasti ada. Terlebih saat memiliki jabatan di tengah masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran Sayyidina Umar untuk menjaga Sifat Tawadhunya maka Rasulullah selalu berdoa :

اَللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مِسْكِيْنًا وَأَمِتْنِيْ مِسْكِيْنًا وَاحْشُرْنِيْ فِيْ زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْنِ

Allahumma ahyinii miskiinan wa amitnii miskiinan wahsyurnii fii zumrotil masaakiin.

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah dan lain-lain)

 

 

 

 

 

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *