Para Mursyid Tetap Akan Memberi Tarbiyah Walaupun Telah Wafat

Share posting

Kematian tidaklah menghalangi seorang Mursyid untuk tetap memberi pelajaran kepada murid-muridnya walaupun mereka sudah wafat

https://pasulukanlokagandasasmita.com/wali-mursyid-tetap-membimbing-muridnya-meski-sudah-wafat/

Oleh: H. Derajat


Ilustrasi-tvtarekat.com

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm

Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Sebelum aku memulai risalah ini maka sebaiknya aku uraikan terlebih dahulu tentang hadist Nabi berikut :

Siapakah yang digelar wali?

  1. Ibnu Abas seperti yang tercatat dalam tafsir Al Khazin menyatakan “Wali-wali Allah itu adalah orang yang mengingat Allah dalam melihat”.
  2. Al Imam Tabari meriyawatkan daripada Saeed bin Zubair berkata bahwa Rasulullah s.a.w. telah ditanya orang tentang Wali-wali Allah. Baginda mengatakan “Mereka itu adalah orang yang apabila melihat, mereka melihat Allah”.

3.Abu Bakar Al Asam mengatakan “Wali-wali Allah itu adalah orang yang diberi hidayat oleh Allah dan mereka pula menjalankan kewajiban penghambaan terhadap Allah serta menjalankan dakwah menyeru manusia kepada Allah”.

Tarbiyah Wali Mursyid kepada Murid-muridnya

Dalam ranah Tarekat, tidak jarang pertanyaan yang sering muncul ialah apakah guru Mursyid yang sudah wafat masih bisa membimbing (mentarbiyah) muridnya?

Pertanyaan ini secara akal memang tidak rasional karena mana mungkin orang yang sudah meninggal masih bisa membimbing orang lain. Namun dalam Kitab Jãmi’ Al-Ushûl fi Al-Auliyã’ ternyata dikatakan bahwa,

“Ketahuilah bahwa setiap wali itu memiliki keistimewaan dan kemampuan berbuat sesuatu tatkala masih hidup dan sesudah wafat.”

Kita bisa melihat misalnya guru mursyid tarekat Naqsyabandiyah Syekh Muhammad Baha’uddin qs dalam mengukir hakikat dan mengantarkan (murid) dalam bahrul wahdah, fana dan istighraq.

Kemudian Sultanul Aulia Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani yang memiliki karamah berbuat dan memberikan pertolongan, serta Syekh Ali Abu Hasan Asy-Syadzily yang memiliki kemampuan (menyampaikan) ilmu dan wirid padahal mereka semua sudah wafat.

Syekh Ali Al-Qurasyi berkata: “Saya melihat empat orang wali beraktivitas di dalam kubur mereka, sebagaimana aktivitas orang yang masih hidup. Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani, Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi, Syaikh Aqil Munji dan Syaikh Hayat bin Qais”.

Kedirian Seorang Wali?

Selain itu, disebutkan pula dalam Kitab Tanwîrul Qulûb fî Mu’ãmalati ‘Allãmil Ghuyûb, sebagaimana pendapat Jumhûr ‘Ulamã Ahlus-Sunnah wal-Jamãah dikatakan bahwa Karamah para wali itu tetap ada (tsãbitah) baik saat mereka hidup dan setelah wafatnya.

Bahkan tidak ada satupun dari empat Madzhab besar yang menafikan karamah setelah wafatnya, dan ketika itu karamah lebih utama. Sebab diri (nafs) pada saat itu dalam keadaan bersih suci dari aneka kotoran dan dosa.

“Siapa yang tak tampak karamahnya setelah wafatnya sebagaimana tampak ketika hidup, maka tidaklah benar (seorang wali).” (Kitab Tanwîrul Qulûb fî Mu’ãmalati ‘Allãmil Ghuyûb).

Sebagian besar Syaikh ahli hakikat mengatakan bahwa,

“Sesungguhnya Allah mengutus Malaikat kepada Wali di kuburnya untuk memenuhi hajatnya. Dan terkadang wali tersebut keluar dari kuburnya untuk memenuhinya sendiri.” (Kitab Tanwîrul Qulûb fî Mu’ãmalati ‘Allãmil Ghuyûb)

Kemudian dalam Kitab Siraj At-Thãlibîn Syarah Minhãjul ‘Ãbidîn, karya Syaikh Ihsan Jampes Kediri, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan mengatakan dalam Taqrîbul Ushûl li-Tashîlil Wushûl, “Banyak Al-‘Ãrifîn (orang yang ma’rifatullah) menyatakan secara jelas bahwa seorang wali Allah sesudah ia wafat, ruhnya akan terhubung dengan para muridnya. Sehingga mereka (murid) sebab keberkahan gurunya itu mendapatkan limpahan cahaya dan anugerah dari Allah SWT”.

Maulana Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga menjelaskan akan hal ini. Beliau mengatakan bahwa,

“Perhatian seorang wali setelah ia wafat terhadap kerabat dan orang-orang yang ‘bersandar dan meminta perlindungan’ kepadanya lebih besar dibandingkan perhatiannya terhadap mereka saat masih hidup.”

Hal ini terjadi karena wali saat hidup sibuk untuk menunaikan kewajiban (taklîf). Sementara setelah wafat, beban kewajiban (taklîf) itu sudah hilang. Wali yang masih hidup punya sisi keistimewaan (karãmah) dan tetap memiliki sisi manusia (basyariah).

Dari keduanya itu, boleh jadi salah satunya lebih dominan dibanding sisi lainnya. Apalagi di zaman seperti sekarang ini, sisi manusianya akan lebih dominan terlihat. Sedangkan bagi Wali yang sudah wafat sisi manusianya sudah hilang dan hanya tinggal sisi keistimewaannya saja.

Dari sini kita bisa pahami dan sangat jelas bahwa para wali memiliki kemampuan beraktivitas bahkan lebih leluasa setelah wafatnya. Oleh karenanya, seorang wali Mursyid tidak akan pernah putus dalam membimbing ruhani para muridnya. Mengenai dalil, bukankah Al-Qur’an juga mengisyaratkan dalam surah Ali ‘Imran (3), Ayat 169:

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللّٰهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ ۞

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”

Kutup artikel ini dengan doa:

اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَاْلعَمَلَ الَّذِيْ يُبَلِّغُنِيْ حُبَّكَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمِنَ الْمآءِ الْبَارِدِ

Allãhumma innî as’aluka hubbak, wa hubba may yuhibbuk, wal-‘amalal ladzî yuballighunî hubbak, Allãhummaj’al hubbaka ahabbu ilayya min nafsî wa ahlî wa minal mãil bãrid

“Wahai Allah, kumohon cinta-Mu, dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan cinta pada amal yang membawaku pada cinta-Mu. Wahai Allah, jadikanlah Cintaku kepada-Mu melebihi cintaku kepada diriku sendiri, terhadap keluargaku dan air yang dingin (saat kehausan)”.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *