Cara Terbaik Dalam Memandang Sesama Manusia

Share posting

murnikan hati dan pikiran kita sebagai makhluk rendah di hadapan Tuhan, maka Dia akan meninggikan derajat mu ke tempat yang lebih tinggi

Artikel Eksklusif

Oleh : Dr., Supardi., S.H .,MH

Rd Mahmud Sirnadirasa

Ilustrasi-Pinterest

Mursyid kami yang mulia Syekh Abdul Qadir Al-Jailany pernah menasehati kita sebagai berikut:

إﺫﺍ ﻟﻘﻴﺖ أﺣﺪﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭأﻳﺖ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻚ، ﻭﺗﻘﻮﻝ: ﻋﺴﻰ أﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻣﻨﻲ ﻭأﺭﻓﻊ ﺩﺭﺟﺔ فاﻥ ﻛﺎﻥ ﺻﻐﻴﺮﺍ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﻌﺺ ﺍﻟﻠﻪ ﻭأﻧﺎ ﻗﺪ ﻋﺼﻴﺖ ﻓﻼ ﺷﻚ إﻧﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻲ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺒﻴﺮﺍ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ ﻗﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺒﻠﻰ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ أعطى ﻣﺎ ﻟﻢ أﺑﻠﻎ ﻭﻧﺎﻝ ﻣﺎ ﻟﻢ أﻧﻞ ﻭﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﺟﻬﻠﺖ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻌﻠﻤﻪ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﻫﻼ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺠﻬﻞ ﻭأﻧﺎ ﻋﺼﻴﺘﻪ ﺑﻌﻠﻢ ﻭﻻ أﺩﺭﻱ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺘﻢ ﻟﻰ أﻭ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺘﻢ ﻟﻪ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻗﻠﺖ: ﻻ أﺩﺭﻱ ﻋﺴﻰ أﻥ ﻳﺴﻠﻢ ﻓﻴﺨﺘﻢ ﻟﻪ ﺑﺨﻴﺮ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻭﻋﺴﻰ أﻥ أﻛﻔﺮ ﻓﻴﺨﺘﻢ ﻟﻲ ﺑﺴﺆ ﺍﻟﻌﻤﻞ

“Jika kamu bertemu dengan seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik darimu. Ucapkan dalam hatimu, “Mungkin kedudukannya di sisi Allah jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku”. Jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah dalam hatimu, “Anak ini belum bermaksiat kepada Allah, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku”. Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah dalam hatimu, “Dia telah beribadah kepada Allah jauh lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku”. Jika bertemu dengan seorang yang berilmu, maka ucapkanlah dalam hatimu, “Orang ini memperoleh karunia yang tidak kudapat, mencapai kedudukan yang tidak kucapai, mengetahui apa yang tidak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku”. Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka katakanlah dalam hatimu, “Orang ini bermaksiat kepada Allah kerana dia bodoh (tidak tahu), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Aku tidak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak”. Jika bertemu orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, bisa jadi dia memeluk Islam dan mengakhiri hidupnya dengan perbuatan baik, sedang aku bisa saja berbuat kafir dan mengakhiri hidupku dengan perbuat buruk”. (Nashaihul’Ibad, halaman 12).

Adapun ketika menjelaskan maksud maqalah “Dan jadilah kamu di sisi masyarakat sebagai seorang yang mempersatukan mereka!”

Syekh Nawawi Banten menuliskan komentarnya sebagai berikut:

فإن الله يكره أن يرى عبده متميزاً عن غيره كما في الحديث

“Karena sungguh Allah SWT tidak menyukai hamba-Nya sebagai yang mengistimewakan diri dari sesamanya, sebagaimana dalam sebuah hadits.” (Nashaihul ’Ibad, halaman 12).

Betapa jungjunan kita yang mulia Rasulullah SAW tidaklah menginginkan dirinya diistimewakan sebagaimana ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabary di dalam Kitabnya Khulashatu Sa’iri Sayyidil Basyar, juz I, halaman 87.

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في بعض أسفاره فأمر بإصلاح شاة فقال رجل يا رسول الله علي ذبحها وقال آخر علي سلخها وقال آخر علي طبخها فقال صلى الله عليه وسلم وعلي جمع الحطب فقالوا يا رسول الله نحن نكفيك فقال قد علمت أنكم تكفوني ولكني أكره أن أتميز عليكم فإن الله يكره من عبده أن يراه متميزا بين أصحابه وقام صلى الله عليه وسلم وجمع الحطب

“Sungguh, Nabi SAW suatu ketika berada di tengah rombongan safar-nya. Kemudian ia memerintahkan agar membereskan dengan baik seekor kambing yang bersama mereka. Lalu tiba-tiba seorang lelaki berkata, ‘Ya Rasulallah, biar aku saja yang menyembelihnya. Lalu datang lelaki lain berkata, ‘Aku yang memotongnya, Wahai Rasul.’ Lelaki lain lagi berkata, ‘Aku yang bagian memasaknya, ya rasul.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku bagian yang mengumpulkan kayu bakarnya.’ Para sahabat bersahutan menjawab, ‘Ya Rasulullah, biarlah kami saja, sudah mencukupi.’ Rasulullah menjawab, ‘Aku tahu bahwa dengan kalian saja sudah mencukupi. Tetapi aku tidak suka sebagai yang diistimewakan di antara kalian, karena sungguh Allah SWT membenci melihat hamba-Nya mengistimewakan diri dari para sahabatnya. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bangkit dan mencari kayu bakar.”

Pengakuan Murni Seorang Hamba

Sikap merendahkan diri dihadapan Allah sebagaimana dalam keterangan link di atas akan tercermin dalam hidup kita yang tidak ingin diistimewakan dihadapan manusia, karena sesungguhnya orang yang tinggi derajatnya dihadapan Allah adalah orang yang biasa biasa saja…

Telah berkata Mursyid kami Syekh Ibnu Aththaillah

إِلٰهِيْ أَنَا الْجَاهِلُ فِي عِلْمِيْ فَكَيْفَ لَا أَكُوْنُ جَهُوْلًا فِي جَهْلِيْ

Tuhanku, akulah hamba yang bodoh dalam ilmu pengetahuanku, maka bagaimana aku tidak semakin lebih bodoh lagi dalam hal yang aku masih bodoh dan tidak mengetahuinya?

Tuhanku, dalam keadaan berilmu saja aku tetaplah bodoh, apatah lagi dalam keadaan tak berilmu. Lalu bagaimana ilmu yang ada padaku ini aku klaim sebagai ilmuku, sementara ilmu dan pengetahuan itu adalah milik-Mu. Jika Engkau berkehendak kepada diriku tak mengetahui pengetahuan apapun, maka ilmu pada diriku sama saja ketiadaan.

Untaian kalimat di atas mencerminkan pikiran murni Syaikh Ahmad yang membuktikan bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin ia paham akan kebodohannya. Semakin luas pengetahuannya, maka semakin sadar ia akan ketiadaannya. Semakin murni pikiran seseorang, maka semakin nampak jelas ia melihat dirinya yang kotor. Semakin tinggi kesadarannya, semakin tunduk dan terbenam dirinya pada lautan ciptaan Tuhan yang luas, bahru dan musnah (fana).

Wallahu ‘alam..

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *