Hans Cristian Andersen, Menumbuhkan Nalar Kritis Anak Melalui Buku

Share posting

Artikel Eksklusif

 Oleh: Nuni Nurbayani, M.Pd.

Nuni Nurbayani, M.Pd., Penulis adalah Anggota KPU Kab. Garut, Akademisi dan Ibu dari tiga orang anak.(foto istimewa-grahabignews.com)

Tidak kurang dari 27 judul buku anak yang Hans Andersen Cristian (Andersen) tulis. Beberapa yang begitu terkenal diantaranya; Itik Buruk Rupa, Ratu Salju, Putri Duyung Kecil, Gadis Penjual Korek Api dan lain sebagainya. Tidak salah jika kelahirannya 2 April 1805 berabad-abad kemudian diperingati sebagai Hari Buku Anak Sedunia (World Children’s Book Day). Karena bukunya tidak sekedar dongeng pengantar tidur. Namun, sebuah maha karya yang tetap diingat dan abadi, menginsfirasi banyak film, drama dan film animasi.

Bagi generasi milenial seperti saya yang lahir diantara tahun 1980-2000 karya Andersen bisa dinikmati dalam film animasi. Gadis penjual korek api, beberapa kali pernah saya tonton di saat hari Natal, atau hari-hari libur lainnya. Cerita fiksi yang sarat kebajikan, mengandung nilai-nilai universal. Dan yang paling umum dilihat dari cerita-cerita Andersen adalah pelajaran bagaimana tokoh utama dalam karakter fiksinya bertahan menghadapi kesulitan. Ini merupakan pelajaran yang sudah semestinya diajarkan kepada anak sejak dini.

Nilai-Nilai Pada Buku Andersen

Andersen yang lahir di Odese, Denmark meninggal pada usia 70 tahun, tepatnya pada tanggal 4 Agustus 1875, ia bukan hanya sekedar penulis dongeng tapi juga seorang penyair. Buku-buku Andersen sebetulnya lebih mudah ditemukan saat ini. Dengan mengetik judul bukunya saja, kita bisa membelinya langsung secara online di beberapa toko online yang bertebaran di jagat maya. Berbeda dengan generasi ‘80 tahun ke belakang, tidak banyak buku dongeng yang bisa diakses melalui perpustakaan umum atau pun perpustakaan daerah. Generasi ini, familiar dengan cerita Anderson melalui televisi. Ya, beberapa sudah diadaptasi dalam bentuk animasi.

Gadis Penjual Korek Api misalnya, selalu hadir di televisi ketika Natal tiba. Dalam bentuk buku, buku dongeng yang ditulis Andersen ini pertama kali terbit pada tahun 1845. Judul dalam Bahasa Denmarknya yaitu, Den Lille med Svovlstikkerne, yang artinya gadis kecil dengan korek-korek api. Kisahnya mengharu biru, sangat menyedihkan. Pada buku tersebut diceritakan seorang gadis pada malam menjelang Natal kehilangan ibunya. Untuk menghidupi ayahnya yang sedang sakit, ditengah badai salju dengan kepala dibungkus sebuah syal yang sudah koyak dan pakaian yang kumal seadanya, ia menjual korek api. Tapi tidak ada seorang pun yang memperdulikannya. Semua orang sibuk mempersiapkan kado Natal, dengan kegembiraan dan kesenangannya sendiri.

Menjelang siang tidak satu batang pun korek api yang terjual. Tiba di depan rumah mewah ia berhenti dan melihat ke dalam rumah. Di dalam rumah terlihat pohon Natal serta seorang ibu yang bermain dengan anak-anaknya dengan gembira. Selain itu ada lilin warna-warni di atas meja. Melihat itu, dia teringat pada Ibu dan nenek yang sangat menyayanginya tapi sudah meninggal. Singkat cerita, menjelang malam yang dingin ia menyalakan korek api. Kehangatan menyelimuti dirinya, cahayanya memantulkan lamunannya yang berada didekat sebuah tungku api, begitu ia menjulurkan tangannya ke tungku api nyala korek api pun padam. Ia menyalakan korek api lagi dan melihat berbagai makanan yang lezat di depannya. Ketika menjulurkan tangannya, lagi-lagi nyala korek api pun padam.

Tak berhenti disana, gadis penjual korek api menyalakan batang korek api lagi yang berubah menjadi sekuntum cahaya merah jambu. Ia merasa di bawah pohon Natal. Di atasnya terdapat ribuan batang lilin yang ketika akan dia sentuh nyala lilin padam dan batang-batan lilin tersebut berubah menjadi bintang-bintang kecil yang terang di langit. Salah satu bintang jatuh ke bumi berubah menjadi sebuah cahaya. Gadis itu menyalakan korek api lagi, Lalu dia melihat neneknya dan melompat ke pelukan nenek yang sangat dirindukannya. Lalu dia menyalakan semua korek api agar neneknya tidak pergi. Neneknya pun membawa gadis itu terbang ke sebuah tempat yang hangat dan tidak akan merasa kelaparan lagi. Esok harinya ketika Natal tiba, orang-oang di sekitar pertokoan melihat gadis malang tersebut sedang menyender di dinding, dengan wajah kemerahan dan senyum terlihat sangat bahagia. Dia sudah meninggal dengan korek api yang terbakar ditangannya.

Cerita ini menyisakan sesak di dada baik pembaca maupun penontonnya. Rasa sedih mengingat kemalangan gadis penjual korek api. Rasa empati pada perjuangan tanpa lelah gadis tersebut. Beberapa pelajaran bisa kita dapatkan dengan membaca buku Andersen atau menontonnya. Misalnya karakter tokoh utama yang tidak mudah menyerah ketika menjual korek api, dia tidak mengeluh atau pun mengemis. Hal ini, mengajarkan anak-anak untuk tidak mudah putus asa menghadapi kesulitan. Dan cerita tersebut juga mengajarkan ana-anak berempati dengan membantu orang lain yang kesulitan, belajar melihat orang lain di tengah kebahagiaan.

Banyak buku dongeng Andersen lainnya yang memberi pesan moral, misalnya pada dongeng Itik Buruk Rupa (Inggris: The Ugly Duckling; Demark: Den Grimme Aelling). Buku in diterbitkan pada 11 November 1843. Menceritakan Itik kecil buruk rupa yang mengalami penindasan dari hewan-hewan lainnya. Kemudian Itik tersebut berubah menjadi lebih Cantik dan Indah ketika dewasa. Tentunya melalui sebuah perjuangan perubahan pribadi untuk kebaikan.

Kemudian 21 Desember 1844 Andersen menerbitkan sebuah buku dongeng berjudul Ratu Salju (Inggris: The Snow Quin, Denmark: Snedronningen). Buku ini berkisah tentang persahabatan antara Garda dan temannya Kai yang menuntut pengorbanan dan perjuangan. Tentunya banyak buku Andersen lainnya yang harus di baca, bukan hanya untuk anak-anak tapi juga untuk orang dewasa.

Menumbuhkan Nalar Kritis Anak Melalui Membaca Buku

Gelombang hoax, misinformasi, fakenews (berita palsu) yang begitu cepat menyabar di era post truth (pasca kebenaran) ini begitu menghawatirkan. Terutama ketika Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2019. Penyebaran berita bohong yang dikakukan untuk menjatuhkan salah seorang kandidit calon presiden saat itu berimbas polarisasi di tengah masyarakat. Bahkan di media sosial terjadi saling menyerang dengan kata-kata kasar diantara kubu pemilih. Hingga di kehidupan masyarakat seperti di Sampang, Jawa Timur Idris menembak mati Subaidi karena pertengkaran di Media Sosial akibat perbedaan pilihan calon presiden. Warga sudah tidak dapat membedakan mana yang baik, yang benar dan yang tidak benar.

Kerancuan berfikir di tengah-tengah masyarakat ini, agaknya harus menjadi perhatian pemerintah untuk segera di atasi. Salah satunya melalui pendidikan. Namun pendidikan kita saat ini pun, belum dapat menjadi solusi bagi persoalan yang terjadi di masyarakat. Pendidikan kita belum mampu menciptakan nalar kritis siswa. Seperti yang diberitakan oleh detik news (15/12/2019), Pihak Kemendikbud memiliki argumentassi yang senada dengan Staf Khusus Kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Aminuddin ma’ruf yang menilai dunia pendidikan di Indonesia belum mampu menciptakan nalar kritis siswa.

Nalar kritis (berfikir kritis) inilah nantinya yang akan mensensor informasi yang diterima, benar atau salah, mana yang harus direspon dan mana yang tidak. Berfikir kritis juga merupakan proses berfikir yang membangun (konstruktif) untuk mencari solusi. Dalam prosesnya kita akan membuat penilaian yang masuk akal/logis, dan difikirkan secara matang.

Dikutif dari criticalthinking, Michael Scriven, seorang professor di bidang ilmu perilaku dan organisasi dari Claremont Graduate University, mengutarakan bahwa berfikir kritis (nalar kritis) adalah proses disiplin intelektual untuk secara aktif dan terampil membuat konsep, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi informasi.  

Kemampuan untuk memiliki nalar yang kritis ini tidak datang tiba-tiba. Harus ada upaya untuk mendapatkannya, salah satunya dengan membaca. Bagi anak membaca yang paling menyenangkan adalah membaca cerita atau dongeng.  Meskipun di era digital kegiatan membaca bagi anak ini adalah salah satu kegiatan yang sangat sulit dilakukan. Karena anak-anak dimasa kini lebih menyukai gadget dari pada buku. Membaca melalui gadget pun bukan pilihan yang baik karena efek kesehatan yang ditimbulkan.

Membaca adalah salah satu cara untuk merawat akal, menumbuhkan rasa ingin tahu dan menyelesaikan persoalan dengan baik dan bertanggung jawab. Karena tujuan membaca menurut Tarigan (2008) adalah untuk mencari dan memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Rutinitas membaca ini akan membantu anak mengenali situasi dan membaca peristiwa yang terjadi disekitarnya. Dan kemampuan membaca yang baik juga turut menyumbang kelahiran para penulis hebat, para pemimpin besar dan para ahli yang mampu membangun bangsa dan negara dengan keahlian yang dimilikinya.

Di Indonesia sebetulnya penulis buku anak sudah banyak, seperti Clara Ng. Diantara buku yang ditulisnya adalah, Padi Merah Jambu dan Dru. Kemudian ada Arlen Alexandara yang sudah menerbitkan sekitar 250an buku. Jumlah yang sangat fantastis. Tidak salah jika Arlen pada tahun 2016 terpilih menjadi Most productive Writer oleh penerbit Gramedia. Bahkan bukunya yang berjudul  I Love You, Mom diterbitkan dalam bahasa Vietnam dan bahasa Arab. Lalu ada Yovita Siswati dengan seri Novelnya. Salah satu judul yang terbit pada tahun 2019 adalah Misteri Harta Berdarah. Dan banyak penulis lainnya dari Indonesia yang mengikuti Hans Cristian Andersen pendahulunya.

Kehadiran para penulis hebat dari luar maupun Indonesia seharusnya bisa menjadi stimulus bagi dunia pendidikan untuk lebih ramah kepada dunia membaca dan menulis. Tidak hanya fokus pada pelajaran matematika yang yang berkaitan dengan angka-angka. Karena menumbuhkan nalar kritis anak sejak dini akan membuat kemampuan anak tidak hanya sebatas bisa mendapatkan nilai yang baik di sekolah, namun juga menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

 

* Penulis adalah Anggota KPU Kab. Garut, Akademisi dan Ibu dari tiga orang anak.

 

 

 


Share posting

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *